READNEWS.ID, PALU – Dugaan tindak penipuan, kekerasan seksual, serta kriminalisasi yang dialami seorang perempuan berinisial SL kembali mencuat setelah kuasa hukumnya membeberkan kronologi lengkap peristiwa tersebut.
Kasus ini menyeret seorang oknum dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu, Dr. Abdul Gafur Marzuki, S.Pd., M.Pd alias AGM , yang diduga menggunakan kedekatan personal sebagai pintu masuk untuk melancarkan sejumlah tindakan terhadap korban.
Peristiwa bermula pada 14 Februari 2025 ketika pelaku menghubungi SL melalui pesan Messenger Facebook. Pelaku memperkenalkan diri dan kemudian meminta nomor WhatsApp korban.
Dalam proses komunikasi itu, SL menanyakan status perkawinan pelaku, namun tidak memperoleh jawaban. Pelaku justru meminta pertemuan dengan alasan ingin menjelaskan secara langsung.
Menurut keterangan kuasa hukum korban, Dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Sulteng. Pada pertemuan tersebut pelaku mengaku telah berpisah dengan istrinya selama tiga tahun dan menyebut istrinya berdomisili di Makassar.
“Pelaku mengklaim telah menjalani prosedur perceraian di pengadilan dan berjanji akan menikahi korban. Keyakinan itu diperkuat dengan kedatangan pelaku ke rumah orang tua SL untuk menyampaikan hal serupa,” ungkap Deputy LBH Sulteng, Rusman Rusli, S.H., M.H kepada awak media. (12/12).
Dalam penjelasannya, Rusman Rusli menyatakan bahwa sikap pelaku membuat korban percaya bahwa hubungan yang dijalin adalah hubungan serius. Pelaku sering menjemput SL di tempat kerja dan mengajaknya bertemu, yang semakin memperdalam kedekatan di antara keduanya.
Situasi berubah pada 18 Februari 2025 ketika pelaku mendatangi SL yang sedang mengikuti kegiatan kantor di Hotel Aston Palu. Kuasa hukum korban menjelaskan bahwa pelaku masuk ke kamar hotel dan menggunakan bujukan serta tindakan fisik yang mengarah pada hubungan layaknya suami istri.
Belakangan, pada 1 Mei 2025, pimpinan kantor SL yang juga merupakan teman dekat istri pelaku memberi informasi bahwa pelaku sebenarnya masih tinggal bersama istrinya. Hal tersebut mengejutkan korban yang kemudian mencoba meminta klarifikasi langsung, namun pelaku kembali memberikan penjelasan yang tidak konsisten.
“Informasi mengenai status pelaku tidak hanya datang dari pimpinan korban, tetapi juga dari seseorang yang mengaku sebagai istri sah pelaku melalui aplikasi TikTok,” jelas Rusman Rusli.
Dalam pesan yang dikirim pada 4 Mei 2025, perempuan itu menegaskan bahwa dirinya masih tinggal satu rumah dengan pelaku dan menyebut, “bukan cuma kamu de, banyak yang lain korbannya.”
Kondisi itu membuat korban merasa tertipu dan berupaya meminta pelaku datang ke rumahnya untuk memberikan penjelasan kepada keluarga. Namun pelaku memblokir kontak WhatsApp korban dan hanya sesekali membuka blokir untuk membaca pesan yang dikirimkan SL.
Tekanan emosional membuat korban mengirimkan pesan bernada marah yang kemudian discreenshot pelaku dan dijadikan dasar laporan ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sulawesi Tengah. Laporan tersebut telah masuk tahap penyidikan dan berpotensi menempatkan SL sebagai tersangka.
Sementara itu menurut Direktur LBH Sulteng, Julianer Aditia Warman, SH yang juga adalah kuasa hukum korban, menegaskan bahwa tindakan pelaku justru mengarah pada upaya mengalihkan kesalahan.
“Pesan yang dikirim korban dalam kondisi tekanan psikologis itulah yang kemudian dijadikan dasar pelaku melapor. Padahal rangkaian peristiwanya menunjukkan bahwa korban terlebih dahulu menjadi pihak yang dirugikan,” ujar Julianer.
Sementara itu, korban juga telah mengajukan laporan balik terkait dugaan tindak pidana kekerasan seksual ke Polda Sulawesi Tengah, yang saat ini masih dalam proses penyelidikan.
Selain itu, laporan kepada pihak UIN Datokarama Palu mengenai perilaku dosennya juga telah disampaikan, tetapi hingga kini belum ada tindak lanjut dari institusi tersebut.
Julianer menilai kasus ini harus ditangani secara menyeluruh agar tidak terjadi pelimpahan kesalahan kepada pihak yang justru mengalami kerugian.
“Dari seluruh rangkaian peristiwa, terlihat jelas adanya dugaan penipuan, manipulasi, serta tindakan yang merugikan klien kami. Proses hukum perlu berjalan objektif agar keadilan dapat diperoleh sebagaimana mestinya,” tegasnya.





