READNEWS.ID, MOROWALI – Setelah mencuat dugaan pengoperasian jetty tanpa izin, kini PT. Bukit Jejer Sukses (PT. BJS) kembali menjadi sorotan publik. Informasi yang diperoleh menunjukkan bahwa perusahaan tersebut diduga melanggar sejumlah ketentuan hukum dan perizinan, mulai dari kepemilikan lahan hingga kewajiban kemitraan dengan petani sawit mandiri.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, hingga kini PT. BJS didugabelum memiliki Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) atas lahan pabriknya. Penyebabnya, lokasi pembangunan pabrik diduga tumpang tindih dengan izin lokasi dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik PT. Kinarya Alam Semesta (KAS).
Dua warga, Syamsu Alam dan Lane Taher, mengaku sebagai pemilik sah sebagian lahan yang digunakan PT. BJS. Keduanya telah melaporkan dugaan penyerobotan tanah tersebut ke Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah (Polda Sulteng). Laporan ini memperkuat indikasi bahwa PT. BJS belum menyelesaikan proses pembebasan lahan secara menyeluruh.
Ketiadaan SHGB menjadi masalah mendasar karena sertifikat tersebut merupakan dasar hukum atas penguasaan tanah oleh badan usaha, khususnya bagi Pabrik Kelapa Sawit (PKS) non kebun.
Tanpa SHGB, pabrik secara hukum tidak dapat beroperasi. Selain itu, SHGB menjadi bukti bahwa perusahaan telah melakukan pembayaran lunas terhadap lahan masyarakat yang dibebaskan.
Hingga kini, kuat dugaan tidak terdapat bukti sah yang menunjukkan bahwa PT. BJS telah memiliki SHGB, baik untuk lahan pabrik maupun kawasan dermaga atau jetty-nya.
Kewajiban Kemitraan Petani yang Diabaikan
Masalah lain yang ditemukan adalah dugaan tidak adanya program kemitraan antara PT. BJS dan Petani Sawit Mandiri (Plasma).
Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 18 Tahun 2021, setiap PKS non kebun wajib membangun kemitraan dengan petani sawit mandiri untuk menjamin pasokan bahan baku dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar.
Namun, hingga kini program tersebut kembali diduga belum pernah dilaksanakan. Bahkan, sumber di lapangan menyebutkan bahwa lahan sawit yang disebut sebagai mitra perusahaan jumlahnya sangat minim. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai asal-usul bahan baku yang digunakan PT. BJS dalam kegiatan produksinya.
Analisis Kapasitas Produksi dan Kebutuhan Lahan
Secara teknis, pabrik dengan kapasitas produksi 60 ton tandan buah segar (TBS) per jam memerlukan sekitar 12.000–14.000 hektar lahan untuk menjamin pasokan bahan baku yang stabil. Dengan perhitungan teoritis kebutuhan tahunan sebesar 432.000 ton TBS dan produktivitas rata-rata 4,5 ton per hektar, ketersediaan lahan dalam jumlah besar menjadi prasyarat utama bagi keberlangsungan operasional pabrik.
Apabila PT. BJS tidak memiliki lahan kemitraan dalam skala tersebut, maka timbul dugaan bahwa pasokan TBS yang masuk ke pabrik bersumber dari kebun pihak lain, termasuk kemungkinan TBS ilegal atau hasil pencurian dari plasma perusahaan sawit lain di wilayah Morowali.
Pertanyaan terhadap Legitimasi Izin Operasi
Temuan ini menimbulkan pertanyaan serius terhadap peran Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Kabupaten Morowali. Saat izin operasi PT. BJS diterbitkan, posisi Kepala PTSP dijabat oleh Yusman Mahbub yang kini menjabat sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) Morowali.
Publik perlu mengetahui dasar pertimbangan penerbitan izin tersebut, mengingat salah satu syarat utama izin operasi pabrik kelapa sawit adalah kepemilikan SHGB yang sah. Tanpa dokumen tersebut, penerbitan izin operasi dapat dikategorikan sebagai pelanggaran prosedur administratif dan patut didalami lebih lanjut oleh aparat penegak hukum.
Readnews.id berupaya menghubungi Yusman Mahbub melalui pesan whatsapp dan menanyakan beberapa hal terkait dasar penerbitan IUP Pabrik PT. BJS. Dan dijawab singkat “IUP ada lengkap” katanya.
Sayangnya Sekda Morowali itu enggan menjawab pertanyaan terkait beberapa pertanyaan lainnya, diantara soal SHGB Pabrik tersebut.
Kesimpulan Sementara
Rangkaian temuan ini mengindikasikan adanya dugaan pelanggaran serius yang dilakukan oleh PT. Bukit Jejer Sukses, mulai dari aspek legalitas lahan, ketiadaan SHGB, tidak dilaksanakannya program kemitraan, hingga dugaan penggunaan bahan baku ilegal.
Adanya dugaan persekongkolan onum pejabat yang memuluskan IUP PT. BJS sekalipun beberapa syarat penting yang harus dipenuhi dalam pengurusan IUP tersebut disangsikan keberadaannya.
Situasi tersebut menunjukkan lemahnya pengawasan pemerintah daerah terhadap kepatuhan industri sawit di Morowali, serta potensi terjadinya penyimpangan prosedural dalam penerbitan izin operasi.
Laporan yang telah masuk ke Polda Sulteng menjadi pintu masuk penting bagi aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas dugaan pelanggaran ini secara transparan dan akuntabel.





