Ketentuan mengenai kewenangan pembatalan sertifikat dijelaskan dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dan asas contrarius actus, yang menegaskan bahwa pembatalan keputusan hanya dapat dilakukan oleh pejabat penerbit.
“Sertifikat itu belum pernah dibatalkan dan masih memiliki kekuatan hukum mengikat. Tidak ada lembaga resmi yang menyatakan bahwa sertifikat tersebut tidak sah,” tegas Julianer.
Penyidikan Belum Tuntas: Saksi Mahkota Belum Diperiksa
Kuasa hukum Nippon Paint juga menyoroti penyidikan yang dinilai belum menyeluruh karena adanya saksi mahkota yang belum diperiksa. Saksi tersebut diketahui memiliki informasi langsung terkait proses penyerahan tanah pada tahun 2002 dan keaslian tanda tangan dalam dokumen.
“Penyidik harus memeriksa saksi mahkota karena dia yang tahu apakah pihak-pihak terkait menandatangani surat penyerahan di hadapan pejabat pembuat akta tanah atau tidak,” lugasnya.
Ketiadaan pemeriksaan terhadap saksi tersebut dinilai sebagai kejanggalan yang dapat memengaruhi objektivitas proses hukum.
Dugaan Mafia Tanah: Konflik Diduga Tidak Berdiri Sendiri
Dari analisis terhadap pola sengketa dan dokumen yang muncul, terdapat indikasi bahwa persoalan ini tidak berdiri sendiri. Fokus tuntutan diarahkan kepada Nippon Paint, padahal penjualan pertama antara Hubaib dan Darwis terjadi dua dekade lalu.
“Ada indikasi kuat bahwa permasalahan ini tidak berdiri sendiri. Ada pihak yang patut diduga sebagai mafia tanah yang mencoba memanfaatkan situasi ini,” kata Julianer.
Ia juga meminta BPN Kabupaten Sigi untuk memberikan klarifikasi terkait kasus ini.
“Kepala BPN Sigi harus menjelaskan ini secara terang benderang dan mengungkap siapa dalang di balik semua ini,” pungkasnya.
Untuk diketahui bahwa pihak Nippon Paint juga tidak pernah mengetahui ada 13 surat warkah palsu dalam proses terbitnya SHM No. 342.
Selain itu, pandangan penyidik bahwa 13 warkah yang mendasari terbitnya SHM No. 342 adalah merupakan tindakan yang melampaui wewenang, mengingat belum ada putusan pidana yang menyatakan Darwis Mayeri melakukan tindak pidana pemalsuan sehingga diterbitkannya SHM No. 342.
Kasus ini masih berkembang dan memerlukan penanganan menyeluruh dari aparat penegak hukum dan lembaga pertanahan untuk memastikan penyelesaian yang objektif serta mencegah potensi kriminalisasi terhadap pembeli beritikad baik.





