READNEWS.ID, OPINI – Gelombang demo yang tiba-tiba pecah di berbagai kota Indonesia selalu menghadirkan kejutan. Tidak jarang, protes itu tampak kecil pada awalnya, namun kemudian membesar menjadi isu nasional.

Fenomena ini seolah mengingatkan kita pada hukum chaos: sebuah sistem yang peka terhadap kondisi awal, di mana gejala sekecil apa pun dapat memicu perubahan besar. Demonstrasi bukan hanya sekadar ekspresi kekecewaan, tetapi alarm dini yang memberi sinyal pada penguasa tentang arah kebijakan yang dipersoalkan rakyat.

Pada kerangka demokrasi, demonstrasi adalah mekanisme informal tapi kuat, sebuah “kontrol jalanan” yang melengkapi mekanisme formal di parlemen. Ia adalah suara rakyat dalam bentuk yang paling mentah dan tidak tersaring, suara yang seringkali tidak terdengar di ruang-ruang rapat legislatif. Pada konteks inilah, demo tidak bisa semata-mata dianggap ancaman, melainkan juga peringatan bahwa ada kebijakan yang tidak berpijak pada rasa keadilan publik.

Di titik ini, peran anggota DPR dan DPRD menjadi sangat krusial. Mereka seharusnya tidak sekadar menjadi “stempel” eksekutif, tetapi peka terhadap gejala-gejala sosial yang muncul. DPR mesti mengubah energi protes menjadi agenda politik yang substantif, agar aspirasi masyarakat terkelola secara produktif dalam ruang demokrasi formal. Kegagalan mereka untuk menangkap sinyal ini hanya akan membuat jurang ketidakpercayaan publik semakin lebar.

Kepulangan Presiden Prabowo dari Beijing menjadi penanda penting dalam lanskap politik nasional. Usai melakukan kunjungan strategis untuk memenuhi undangan Xi Jinping dalam parade militer China, Presiden tidak menunggu lama untuk membawa “angin perubahan” ke dalam negeri.

Setibanya di Jakarta, ia langsung mengumumkan resuffle kabinet Merah Putih, seolah ingin memberi pesan bahwa percaturan global dan dinamika domestik harus dijawab dengan energi baru. Langkah cepat ini memperlihatkan bagaimana diplomasi internasional dan konsolidasi politik dalam negeri saling berkelindan, dan bagaimana Presiden berusaha menjaga momentum agar Indonesia tidak hanya menjadi penonton di panggung global, tetapi juga memperkuat fondasi ekonomi-politik di rumah sendiri.

Reshuffle kabinet telah menjadi momentum penting. Menteri Keuangan yang baru dipasang mendapat sorotan khusus, karena posisi ini sangat menentukan jalur ekonomi yang akan ditempuh: pro pertumbuhan, pro rakyat, tetapi juga harus adil.

Pemerintah di bawah Kabinet Merah Putih menegaskan bahwa prinsip dalam Pasal 33 UUD 1945, bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat menjadi pijakan dalam mengelola ekonomi nasional. Salah satu contoh kebijakan nyata adalah peluncuran 80.081 Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih sebagai usaha bottom-up: koperasi di desa-desa sebagai basis ekonomi rakyat yang diperkuat agar dampak pembangunan merata, bukan hanya dirasai di kota besar.

Data menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia tumbuh cukup stabil meskipun menghadapi tantangan global. Misalnya, dalam kuartal pertama 2025, pertumbuhan ekonomi mencapai sekitar 4,87% yoy. Pemerintah menargetkan ekonomi tumbuh antara 5,8–6,3% di tahun 2026. Tetapi meski pertumbuhan itu nyata, tantangan terbesar sekarang adalah apakah pertumbuhan ini menciptakan lapangan kerja yang cukup. Angka pengangguran terbuka diperkirakan akan naik menjadi 5% pada 2025 dibanding sekitar 4,82% di 2024.

Bonus demografi adalah peluang emas yang tengah di depan mata. Statistik Indonesia 2025 mencatat bahwa dari total penduduk sekitar 284,44 juta, sekitar 196,13 juta masuk kelompok usia produktif. Namun di lain pihak, tingkat pengangguran terbuka (TPT) usia 15–24 tahun masih sangat tinggi. Ini menunjukkan bahwa meskipun banyak generasi muda siap bekerja, kesempatan yang tersedia atau yang cocok belum memadai. Bila tidak dikelola baik, bonus demografi bisa berubah menjadi beban: pengangguran tinggi, ketidakstabilan sosial, dan rendahnya produktivitas.

Satu risiko besar lain adalah middle-income trap. Indonesia sudah diklasifikasikan sebagai negara berpenghasilan menengah atas oleh beberapa lembaga internasional. Tetapi data juga menunjukkan bahwa proporsi kelas menengah (yang belanjanya antara US$132–US$643 per bulan) telah menyusut dari sekitar 21,4% pada 2019 menjadi 17,1% pada 2024.

Penurunan kelas menengah ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi mungkin belum diikuti oleh pemerataan pendapatan dan kesempatan yang kuat, yang sangat penting agar Indonesia tidak stagnan di pendapatan menengah saja.

Di tataran global, Indonesia kini bermain dalam arena yang makin kompleks: tidak hanya Blok Barat yang selama ini menjadi mitra konvensional, tetapi juga masuk dalam anggota BRICS, di mana negara-negara berkembang dengan ekonomi besar mencoba memperkuat kerja sama strategis. Keanggotaan Indonesia dalam BRICS membuka potensi kemitraan baru dalam perdagangan, investasi, dan diplomasi ekonomi yang bisa mengimbangi dominasi kebijakan yang sering didikte oleh blok-blok kekuatan lama.

Program 80.081 koperasi desa/kelurahan Merah Putih bukan hanya simbol, tetapi bisa menjadi jalur nyata distribusi kekuasaan ekonomi ke akar rumput. Saat ini koperasi tersebut dilengkapi dengan berbagai fungsi seperti simpan-pinjam, outlet logistik desa, gudang dan pengering padi/jagung, agen pupuk, bahkan klinik/apotek desa sesuai potensi lokal. Jika dioperasikan dengan baik, mereka bisa menyerap tenaga kerja lokal, memperkuat produksi lokal, dan mengurangi ketergantungan impor produk-produk dasar.

Namun agar semuanya tidak berakhir sebagai narasi kosong, beberapa hal harus dilakukan secara nyata. Pemerintah pusat dan daerah harus menjamin pendidikan vokasi yang relevan secara lokal dan skill yang dibutuhkan global. Pengembangan teknologi, digitalisasi UMKM, serta integrasi koperasi dalam rantai nilai ekonomi nasional dan ekspor harus diperkuat. Regulasi dan pengawasan juga perlu diperkuat terutama dalam aspek keadilan sosial, agar pertumbuhan ekonomi tidak cuma milik segelintir kelas pengusaha besar

Lalu bagaimana dengan kita di Sulawesi Tengah? Pertama, anak muda tidak boleh hanya menonton. Bonus demografi berlaku juga di sini. Generasi muda Sulteng harus berani masuk sebagai pelaku ekonomi kreatif, entrepreneur, dan inovator lokal yang bisa terkoneksi dengan pasar global.

Kedua, masyarakat harus menjaga solidaritas dan memperkuat ekonomi berbasis komunitas. Desa wisata, koperasi nelayan, UMKM pangan lokal, hingga industri kreatif budaya bisa menjadi penggerak. Dengan basis ekonomi rakyat yang kuat, Sulteng tidak akan mudah terguncang oleh fluktuasi global.

Ketiga, pemerintah daerah perlu mengambil peran aktif. Momentum nasional harus diterjemahkan dalam strategi lokal: memperkuat pendidikan vokasi, mendorong hilirisasi nikel dan kakao, serta memastikan investasi yang masuk memberi nilai tambah, bukan sekadar mengeksploitasi.

Pada akhirnya, demo, reshuffle kabinet, koperasi desa, bonus demografi, hingga percaturan global hanyalah kepingan puzzle. Kita bisa memilih melihatnya sebagai kekacauan tanpa arah, atau menjahitnya menjadi narasi kebangkitan bangsa. Dari jalanan hingga ke istana, dari desa hingga ke forum dunia, masa depan Indonesia sedang dipertaruhkan. Pertanyaannya, apakah kita siap mengambil peran, atau membiarkan diri menjadi penonton sejarah?

 

Penulis : Dr. Ir. Ihksan Syarifuddin, ST., M.M
Praktisi Marketing, Direktur Transdata Sulawesi Gemilang. Wakil Ketua Kadin Kota Palu