READNEWS.ID, OPINI – Peta politik elektoral Indonesia, termasuk di level daerah seperti Sulawesi Tengah, kini tak hanya terbentuk oleh pertarungan figur atau partai, melainkan juga oleh benturan dua gelombang besar: gelombang ideologi dan gelombang pasar. Kedua arus ini membentuk spektrum baru dalam dinamika pemilih, membingkai bagaimana narasi kampanye dibentuk dan bagaimana segmentasi politik dikonstruksi dalam benak publik.
Gelombang ideologi ditandai dengan menguatnya identitas politik berbasis agama, nasionalisme, atau simbol budaya. Kandidat dalam spektrum ini kerap mengusung narasi moralitas, keadilan sosial berbasis nilai, atau restorasi jati diri bangsa dan semangat kedaerahan. Di sisi lain, gelombang pasar merepresentasikan pendekatan politik yang pragmatis, berbasis program, angka, dan janji layanan. Kandidat dalam kelompok ini tampil seperti “produk publik” yang ditawarkan melalui kampanye berbasis citra, solusi ekonomi, dan efektivitas manajerial.
Pertarungan dua gelombang ini semakin relevan ketika dikaitkan dengan isu-isu krusial masyarakat saat ini: harga kebutuhan pokok, akses lapangan kerja, kesenjangan sosial, kualitas pendidikan, serta kesetaraan gender. Publik hari ini tidak lagi hanya memilih berdasarkan figur atau partai, tetapi berdasarkan siapa yang menawarkan narasi paling relevan terhadap kecemasan kolektif mereka.
Dalam konteks ini, pendekatan marketing politik modern tidak bisa lagi sekadar menjual personalitas kandidat. Ia harus mampu memetakan segmentasi psikografis pemilih, membaca gelombang emosional publik, dan merancang komunikasi politik yang menyentuh realitas sehari-hari masyarakat. Artinya, isu ekonomi dan keadilan sosial bukan hanya materi debat publik, tetapi juga menjadi konten utama dari strategi branding politik.
Sebagai contoh, kelompok pemilih urban dan kelas menengah muda cenderung tertarik pada narasi efisiensi, inovasi teknologi, dan peluang usaha. Sementara itu, kelompok pemilih kelas bawah di pedesaan lebih terhubung dengan janji tentang kestabilan harga, bantuan sosial, dan akses lapangan kerja. Kedua kelompok ini bisa dipengaruhi oleh kandidat dari spektrum ideologi maupun pasar, tergantung bagaimana narasi itu dikemas dan melalui kanal apa ia didistribusikan.
Namun, ketegangan muncul ketika gelombang ideologi terlalu keras mendominasi ruang publik. Polarisasi sosial menjadi tidak terhindarkan. Politik identitas bisa menjelma menjadi eksklusivitas dan meminggirkan kelompok rentan. Di sinilah relevansi isu gender dan pendidikan muncul: ketika pemilih mulai menilai apakah kepemimpinan yang ditawarkan benar-benar progresif, inklusif, dan visioner atau justru membatasi ruang dialog publik.
Di sisi lain, gelombang pasar pun punya kelemahannya. Ketika terlalu pragmatis, politik bisa kehilangan arah nilai. Kandidat bisa menjadi seperti komoditas yang siap dikemas ulang kapan saja sesuai selera pasar, tanpa komitmen ideologis yang kuat. Di sinilah tugas marketing politik modern menjadi krusial: bukan hanya menjual kandidat, tetapi juga menjaga integritas pesan politik yang konsisten dan berdampak.
Untuk keluar dari jebakan polarisasi ini, dibutuhkan pendekatan yang holistik: menggabungkan kekuatan narasi ideologis (yang menyentuh nilai) dengan efektivitas solusi pasar (yang menyentuh kebutuhan riil). Kampanye politik masa depan harus mampu menjawab pertanyaan besar masyarakat: Apa solusi Anda terhadap pengangguran? Bagaimana pendidikan anak saya akan lebih baik? Bagaimana suara perempuan dihargai?
Strategi kampanye yang berhasil ke depan bukan yang paling keras berteriak, tapi yang paling mampu mendengar. Mendengar keresahan ibu rumah tangga tentang harga beras. Mendengar kecemasan pemuda tentang masa depan kerja. Mendengar suara minoritas tentang kesetaraan. Inilah kekuatan baru dalam peta elektoral: resonansi isu, bukan sekadar euforia simbol.
Jika politik ingin tetap relevan, maka ia harus melampaui polarisasi. Marketing politik harus kembali ke akarnya: memahami kebutuhan rakyat, bukan sekadar memenangkan suara mereka. Inilah arah baru yang harus dijalani oleh setiap kandidat dan tim sukses di era demokrasi digital dan ekonomi emosi seperti saat ini.
Bagi para kandidat, kebijaksanaan pertama yang harus diambil adalah mengakui keberagaman aspirasi dan menghindari jebakan dikotomi ideologis. Kampanye yang terlalu membelah publik hanya akan menghasilkan ketidakpercayaan dan delegitimasi pasca-kemenangan. Sebaliknya, pendekatan inklusif dengan narasi yang mempersatukan dapat memperluas dukungan sekaligus memperkuat legitimasi sosial.
Kedua, partai politik harus membekali para calon dengan pemahaman lintas isu dan kemampuan menjawab tantangan nyata masyarakat, bukan hanya melatih kemampuan orasi atau strategi serangan. Kandidat yang bijak adalah mereka yang mampu menjembatani nilai dengan program, ideologi dengan pelayanan, serta simbol dengan aksi.
Ketiga, kebijakan jangka panjang dari partai politik perlu diarahkan pada konsolidasi nilai demokrasi yang sehat: mendukung kebijakan afirmatif, keterwakilan perempuan, pendidikan politik masyarakat, dan distribusi isu berbasis data. Dengan begitu, partai tak hanya menjadi kendaraan elektoral, tetapi juga wadah pembelajaran politik bagi bangsa.
Penulis : Dr. Ir. Ihksan Syarifuddin, ST., M.M
Praktisi dan Konsultan Marketing Politik, Direktur Transdata Sulawesi Gemilang