READNEWS.ID, PALU – Penurunan lahan dan produktivitas tanaman kelapa di Sulawesi Tengah menjadi keprihatinan tersendiri bagi Dr. Ir. Rustam Abdul Rauf, MP, akademisi Fakultas Pertanian Universitas Tadulako. Dalam refleksi peringatan HUT ke-61 Provinsi Sulawesi Tengah, ia menyuarakan harapan agar kelapa dalam, yang dahulu menjadi komoditas andalan daerah ini, kembali menjadi prioritas pengembangan pemerintah.

“Kelapa adalah identitas dan sejarah Sulawesi Tengah. Dulu kita pernah jadi raja kopra di Indonesia. Kenapa tidak bisa kita bangkitkan lagi?” ujar Dr. Rustam dengan nada optimistis namun penuh kekhawatiran.

Berdasarkan data, lahan kelapa nasional dalam 10 tahun terakhir mengalami penyusutan signifikan. Dari 3,76 juta hektare pada 2011, turun menjadi 3,37 juta hektare pada 2021—turun sekitar 10,37 persen. Kondisi serupa terjadi di Sulawesi Tengah. Setelah mengalami peningkatan antara 2011–2018, lahan kelapa terus menurun sejak 2019 hingga 2021.

Data Dinas Perkebunan Sulteng menunjukkan bahwa pada 2021 terdapat 214.143 hektare lahan kelapa tersebar di 11 dari 13 kabupaten/kota. Kabupaten Banggai menjadi wilayah dengan luasan terbesar, yakni 57.138 hektare atau 33,91 persen dari total areal, dengan produksi sebesar 49.116 ton.

Namun ironisnya, produktivitas kelapa di Banggai hanya 0,86 ton per hektare—terendah di provinsi ini. Hal ini mencerminkan satu hal: luas lahan tidak menjamin hasil, terlebih jika tanaman sudah tua dan tidak lagi produktif.

“Banyak pohon kelapa yang usianya di atas 60 tahun. Mereka seharusnya sudah diremajakan,” jelas Prof. Rustam. Ia menegaskan perlunya program replanting atau peremajaan tanaman secara sistematis agar kelapa kembali menjadi komoditas unggulan daerah.

Keprihatinan alumni Doktoral Institut Pertanian Bogor (IPB) ini bukan semata kajian akademik. Ia tumbuh dalam keluarga yang lekat dengan dunia kelapa. Ayahandanya, H. Abdul Rauf, dikenal sebagai pekebun kelapa dalam dan pengusaha kopra sukses di Parigi Moutong. Meski kemudian beralih ke kakao, jejak perjuangan itulah yang kini menjadi bahan bakar semangatnya.

“Saya ingin kelapa kembali menjadi kekuatan ekonomi. Ini bukan nostalgia, tapi karena saya percaya kelapa dalam masih punya masa depan besar,” ucapnya.

Bagi dia, pengembangan kembali kelapa dalam berarti menjaga plasma nutfah lokal sekaligus menciptakan peluang ekonomi baru bagi petani. Apalagi, sebagian besar penduduk pedesaan di Sulteng masih menggantungkan hidup dari sektor pertanian, termasuk perkebunan kelapa.

Doktor Sosial Ekonomi Pertanian, kelahiran Ampibabo, 3 Juni 1974 ini, mendorong agar momentum usia 61 tahun Provinsi Sulawesi Tengah dimanfaatkan untuk menyusun strategi pengembangan kembali kelapa dalam. Strategi itu bisa mencakup: Program Replanting dengan bibit unggul dan dukungan penuh pemerintah, Pelatihan dan pendampingan teknologi untuk meningkatkan produktivitas, Penguatan pasar dan akses distribusi hasil olahan seperti kopra, dan Inovasi produk olahan untuk meningkatkan nilai tambah.

Menurut Dr. Rustam, peluang pasar masih terbuka lebar. Permintaan terhadap kelapa dan produk turunannya seperti kopra, minyak kelapa, hingga air kelapa masih tinggi. Pasar pun tersedia, baik lokal maupun luar daerah seperti Surabaya, Gorontalo, dan Luwuk.

Dukungan pemerintah juga bukan hal yang asing. Selama ini sudah ada bantuan bibit, subsidi pupuk, dan pelatihan. Namun, menurut Prof. Rustam, semua itu masih belum terintegrasi dalam kerangka pengembangan jangka panjang.

Meski peluang terbuka, sejumlah ancaman tetap menghantui. Di antaranya harga kelapa yang fluktuatif, persaingan antarpetani, rendahnya upah tenaga kerja panen, hingga kurangnya penggunaan teknologi modern.

“Petani kita masih mengandalkan bibit dari kebun sendiri. Pupuk dan obat mahal. Teknologi pun belum masuk optimal,” jelasnya.

Itulah sebabnya, ia berharap, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah bersama instansi terkait dapat menjadikan revitalisasi kelapa dalam sebagai agenda penting pembangunan pertanian.

“Kelapa bukan hanya pohon. Ia adalah penghidupan, sejarah, dan harapan. Mari kita jaga warisan ini dan kembalikan kejayaan Sulawesi Tengah sebagai negeri kelapa,” pungkas Dr. Rustam. ***