READNEWS.ID, OPINI – Kebijakan pemerintah terkait pengangkatan tenaga honorer di instansi pemerintah merupakan persoalan yang telah berlangsung lama dan penuh dinamika.
Awal mula kebijakan ini dapat ditelusuri sejak tahun 2005, ketika pemerintah pusat memutuskan untuk mengangkat tenaga honorer yang telah bekerja minimal satu tahun dan menerima honor dari sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Tujuan kebijakan tersebut semula adalah memberikan penghargaan terhadap dedikasi para tenaga honorer yang telah mengabdi di lembaga pemerintahan, baik pusat maupun daerah.
Pendataan dilakukan secara serentak oleh seluruh daerah, dengan batas waktu pengangkatan hingga tahun 2009. Pemerintah menganggap bahwa setelah tahun tersebut, seluruh tenaga honorer yang benar-benar memenuhi kriteria telah diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Namun, kenyataannya jauh dari harapan.
Banyak tenaga honorer yang merasa layak tetapi tidak terakomodasi dalam pendataan, sementara ada pula individu yang tidak memenuhi syarat justru berhasil diangkat. Ketimpangan ini menimbulkan gejolak di berbagai daerah dan mendorong pemerintah pusat melakukan pendataan ulang.
Ironisnya, pendataan ulang justru memperparah persoalan. Jumlah tenaga honorer yang diklaim “tercecer” meningkat drastis melebihi jumlah awal. Tidak berhenti di situ, muncul pula tuntutan dari tenaga honorer yang bekerja di instansi pemerintah, namun tidak menerima honor dari APBN atau APBD.
Pemerintah merespons dengan membagi tenaga honorer menjadi dua kategori: Honorer Kategori 1 (K1) dan Honorer Kategori 2 (K2). Masing-masing daerah kembali melakukan pendataan, tetapi praktik yang sama berulang—tenaga honorer yang benar-benar mengabdi tidak tercatat, sedangkan mereka yang tidak pernah mengabdi justru masuk dalam basis data.
Kondisi ini menandakan lemahnya sistem verifikasi dan pengawasan dalam proses administrasi kepegawaian di tingkat daerah.
Permasalahan utama tidak hanya terletak pada kebijakan pusat, tetapi juga pada tanggung jawab pejabat di tingkat daerah yang menandatangani surat pernyataan keabsahan pengabdian tenaga honorer. Dokumen tersebut menjadi dasar hukum pengangkatan seorang tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Apabila di kemudian hari terbukti bahwa seseorang yang diangkat tidak pernah mengabdi sebagaimana tercantum dalam surat pernyataan tersebut, maka tanggung jawab tidak semata-mata berada pada individu penerima manfaat, tetapi juga pada pejabat yang mengesahkan dokumen tersebut.
Dalam konteks hukum administrasi negara, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran serius. Pemalsuan dokumen atau pemberian keterangan palsu oleh pejabat berwenang merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang yang seharusnya ditindak tegas. Pejabat yang menandatangani surat keterangan palsu tidak hanya mencederai prinsip keadilan, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap sistem kepegawaian negara.
Fenomena munculnya apa yang disebut sebagai honorer siluman—yakni individu yang tidak pernah mengabdi namun berhasil terangkat—merupakan bukti nyata lemahnya integritas dan pengawasan di lapangan. Akibatnya, tenaga honorer yang benar-benar mengabdi justru kehilangan haknya karena formasi telah diisi oleh pihak-pihak yang tidak berhak.
Diperlukan komitmen moral dan profesional dari seluruh pejabat, mulai dari tingkat bawah hingga pejabat struktural tertinggi, untuk memastikan keabsahan setiap tenaga honorer yang diusulkan dalam formasi pengangkatan.
Pemerintah daerah dan pusat harus menegakkan prinsip akuntabilitas dengan melakukan verifikasi menyeluruh terhadap data honorer, sekaligus menindak tegas setiap bentuk pelanggaran yang terbukti mencederai proses tersebut.
Kekacauan pengangkatan tenaga honorer bukan hanya persoalan administratif, tetapi juga cerminan krisis etika birokrasi. Jika keadilan tidak ditegakkan, maka upaya reformasi aparatur sipil negara akan kehilangan makna.
Mereka yang benar-benar mengabdi layak memperoleh haknya, sedangkan yang memanfaatkan celah sistem harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Keadilan dalam pengangkatan tenaga honorer hanya dapat terwujud apabila integritas dijadikan dasar dalam setiap keputusan administrasi. Dengan demikian, penghargaan terhadap pengabdian yang tulus dapat diberikan kepada pihak yang benar-benar layak, dan kepercayaan publik terhadap sistem pemerintahan dapat dipulihkan.
Salam hormat dari saya, yang turut prihatin atas peristiwa terjadinya kekacauan dalam pengangkatan tenaga honorer yang kemudian di kotori oleh mereka yang tidak pernah mengabdi namun ikut terangkat ..





