Polisi kemudian meringkus keduanya. Dari tangan mereka, Polisi menyita barang bukti berupa 15 Kg sisik Tenggiling dan selembar kulit berikut tulang belulang Harimau.

Perdagangan Satwa Liar Masih Marak

Perdagangan satwa dan bagian tubuhnya masih marak terjadi di Indonesia. Data Voice of Forest (VoF) menunjukkan, ada 26 kasus perdagangan satwa di Sumut dan Aceh sepanjang 2022 dan 2023.

Dari jumlah tersebut, penegak hukum menetapkan total 53 orang sebagai tersangka kasus perdagangan satwa liar inu. Data ini adalah hasil publikasi kasus di media massa. VoF meyakini, masih banyak kasus lagi yang belum terungkap dan lolos dari radar pemberitaan.

Dalam data itu, jenis satwa terbanyak yang masuk jual-beli adalah bagian tubuh Tenggiling. Sementara dalam data Yayasan Orangutan Sumatra Lestari (YOSL) menunjukkan jika, selama 2016-2023, ada 23 harimau yang menjadi korban perdagangan di Sumur dan Aceh.

Jumlah ini belum termasuk Harimau yang menjadi korban konflik. Angka-angka ini menunjukkan begitu maraknya kasus perdagangan harimau dan bagian tubuhnya. Tentu ini menjadi faktor mempercepat kepunhana satwa berstatus terancam punah menurut Uni Konservasi Internasional (IUCN). Di alam liar, Harimau Sumatera lebih kurang sekira 600 ekor saja.

Perdagangan Satwa Kejahatan Luar Biasa

Direktur Voice of Forest Mirza Baihaqie, mengatakan, kasus perdagangan satwa harus menjadi perhatian aparat penegak hukum. Karena, kata Mirza, kasus perdagangan satwa adalah kejahatan luar biasa seperti narkotika.

“Bagaimana kita kehilangan satu Harimau di alam. Tentunya tugas harimau sebagai predator puncak akan hilang. Ini akan berdampak pada kondisi ekosistem. Dampaknya sebenarnya sudah kita rasakan saat ini. Perubahan iklim kian cepat terjadi,” kata Mirza.

Dalam kasus di Kabupaten Tapsel, VoF mendesak Polda Sumut untuk menangkap pelaku lainnya.

“Pengungkapan kasus ini harus secara menyeluruh. Jangan sampai para pelaku masih berkeliaran dan berpotensi melakukan pelanggaran pidana yang sama,” pungkasnya.