READNEWS.ID., OPINI – Di tengah terik matahari sore, pesawat berbadan lebar itu mendarat dengan suara gemuruh yang bergema di Teluk Palu. Di papan penanda kedatangan, huruf-huruf digital menampilkan sesuatu yang dulu hanya ada dalam mimpi: Palu – Singapore, Direct Flight. Bukan transit di Makassar. Bukan sekadar penerbangan charter. Ini penerbangan reguler internasional—pertama kalinya dalam sejarah, resmi terwujud melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 37 dan KM 38 Tahun 2025.

Bagi masyarakat Sulawesi Tengah, momen ini bukan hanya tentang perubahan nama status bandara. Namun tentang membuka pintu rumah kita ke dunia dan mengundang dunia masuk melihat siapa kita sebenarnya. Bandara Mutiara SIS Al-Jufri kini menjadi gateway yang menghubungkan Palu dengan kota-kota besar dunia. Sebuah panggung baru di mana perdagangan, pariwisata, budaya, dan peluang bisnis saling berjumpa.

Bayangkan ini: pesawat kargo udara membawa langsung kakao premium dari Donggala ke pasar Eropa tanpa perlu transit berhari-hari. Wisatawan mancanegara tiba pagi, menikmati sarapan ikan bakar di Pantai Tanjung Karang, lalu menghabiskan sore di hutan Lore Lindu, sebelum bermalam di resort yang dikelola pengusaha lokal. UMKM memajang produk anyaman, kopi Kaili, kopi Kulawi, bawang goreng dan minyak kelapa murni di etalase terminal internasional. Semua ini bukan lagi konsep dalam presentasi, tapi realitas yang kini bisa kita sentuh.

Namun, di balik euforia ini, realitas globalisasi juga mengetuk pintu. Bandara internasional adalah magnet. Ia menarik investasi, modal, teknologi tetapi juga membawa potensi kesenjangan, guncangan budaya, dan bahkan ancaman peredaran narkoba. Sulawesi Tengah akan menjadi titik persinggahan bukan hanya bagi wisatawan, tetapi juga bagi arus ideologi, soft power, dan strategi diplomasi negara asing. Di sinilah paradoks itu muncul: peluang besar yang dibarengi risiko besar.

Mengelola paradoks ini bukan tentang memilih satu dan mengorbankan yang lain. Namun tentang strategic alignment. Pemerintah daerah harus memastikan pertumbuhan ini inklusif, memberi ruang yang sama bagi UMKM, pengusaha lokal, dan generasi muda untuk ikut bermain di panggung internasional. Teknologi keamanan harus diperkuat, bukan sekadar untuk melindungi bandara, tetapi juga menjaga integritas ekonomi dan budaya daerah. Bandara harus menjadi etalase budaya, di mana setiap turis yang tiba langsung merasakan aroma kopi Sigi, mendengar musik tradisional Kaili, dan melihat karya seniman lokal yang memukau.

Dan di tengah semua ini, ada satu elemen yang paling menentukan: anak muda Sulawesi Tengah. Mereka adalah penerjemah visi besar ini ke dalam bahasa dunia. Dengan kemampuan bahasa asing, keterampilan digital, dan keberanian berinovasi, mereka bisa mengubah potensi menjadi profit, dan cerita lokal menjadi global brand. Anak-anak muda ini bisa menjadi content creator yang memperkenalkan “Visit Central Sulawesi” ke dunia, pengusaha start-up pariwisata yang menjual paket petualangan unik, atau eksportir digital yang mengirim produk lokal ke konsumen global hanya dengan satu klik.

Momentum ini adalah undangan terbuka. Bandara internasional bukan hanya gerbang masuk, tapi papan loncatan. Ia adalah launchpad yang siap melempar Sulawesi Tengah ke orbit global. Pertanyaannya bukan lagi apakah kita siap menyambut dunia, tetapi apakah kita siap menjadi bagian dari dunia dengan identitas yang kuat, ekonomi yang tangguh, dan generasi muda yang memimpin di garis depan.