READNEWS.ID. PALU – Polemik penetapan Wilayah Pertambangan (WP) dan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) di Kabupaten Parigi Moutong memasuki fase yang semakin kompleks setelah munculnya sejumlah keterangan teknis yang bertolak belakang dengan pernyataan Bupati Parigi Moutong, Erwin Burase.
Perbedaan data, ketidaksinkronan dokumen, serta dugaan adanya draft tambahan diluar mekanisme resmi memicu pertanyaan baru mengenai integritas proses penetapan WPR di daerah tersebut.
Erwin Burase sebelumnya pernah menyampaikan kepada awak media bahwa usulan awal WPR hanya berjumlah 16 titik, bukan 53 titik.
Namun klaim tersebut mulai dipertanyakan setelah munculnya konfirmasi teknis dan keterangan para pihak yang menunjukkan bahwa angka 53 titik telah tercantum sejak awal proses pengajuan.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Kabid Tata Ruang Dinas PUPRP Parigi Moutong, Ade Prasetya kepada readnews.id bawah bahwa pengusulan WP dan WPR ke Gubernur Sulteng sejumlah 53 titik. Merujuk pada surat Bupati Parigi Moutong Kepada Gubernur Sulteng Nomor. 600.3.1/4468/DIS.PUPRP tentang Usulan Perubahan Wilayah Pertambangan. Dan Surat bernomor. 600.3.1.1/4468/DIS.PUPRP perihal Rekomendasi Tata Ruang tentang usulan Wilayah Pertambangan Rakyat dan Blok WPR di Kabupaten Parigi Moutong.
Hasil dari berbagai sumber diketahui bahwa dari 53 titik tersebut terdapat 19 titik WPR yang berkasnya diusulkan melalui orang dekat Erwin Burase bernama Lukman Gafar. Namun saat dikonfirmasi Lukman hanya mengaku membantu pengusulan 16 titik saja bukan 19 sebagaimana yang disampaikan Ade Prasetya melalui pesan whatsap.
“Usulan yang dibawa pak lukman 19 titik” tulisnya. Pada. Senin, (24/11).
Sementara itu, Lukman Gafar menyampaikan bahwa dirinya sekedar membantu masyarakat menyusun usulan 16 titik di wilayah utara. Lukman menegaskan tidak mengetahui adanya tambahan titik, tidak terlibat dalam dugaan perubahan dokumen.
“Bukan milik saya, saya hanya membantu masyarakat di wilayah yang dimana mereka menganggap ada potensi sehingga diajukan usulan untk WPR ke pemerintah daerah melalui OPD teknis, yang berjumlah 16 titik berada di wilayah utara, kemudian dikoordinasikan dengan bapak Bupati,dan OPD terkait,” katanya.
Lukman pun menampik bahwa ada keterhubungan dengan pihak cukong baik lokal maupun asing dalam hal pembiayaan.
“Saya tidak mendalangi dibalik perubahan dari 16 titik menjadi 53 titik. Sampai saat ini sya belum pernah beerhubungan atau berkomunikasi dengan cukong asing maupun lokal,” jawabnya.
Ketidak singkronan pengakuan Lukman dan Ade Prasetya menjadi tanda tanya besar. Keterangan mana yang benar dari keduanya.
Disisi lain sepertinya Bupati Parigi Moutong, Erwin Burase ogah dipersalahkan terkait data usulan 53 WPR. Lalu ketidak singkronan keterangan Lukman Gafar dan Ade Prasetya soal jumlah WPR yang ajukan melalui Lukman ke PUPR. Berujung pada ragam pendapat dan perdebatan yang menguras otak dikalangan masyarakat tentang fakta sebenarnya.
Lanjut Ade Prasetya menegaskan, bahwa sejak awal jumlah keseluruhan usulan yang masuk ke dinas adalah 53 titik dengan seluruh poligon, koordinat, dan berkas pendukung yang telah terdokumentasi secara lengkap. Berkas tersebut dilaporkan kepada kepala dinas, sekretaris daerah, dan wakil bupati sebelum diteruskan kepada Bupati untuk penetapan.
Ketidakhadiran dokumen resmi versi 16 titik didalam arsip internal memperkuat dugaan bahwa klaim Bupati tidak didukung oleh catatan administratif. Hingga saat ini tidak ditemukan notulensi, rekap usulan, ataupun dokumen pendukung lain yang mencantumkan angka 16 titik sebagai data awal.
Situasi menjadi semakin rumit setelah Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah (Kejati Sulteng) memeriksa sejumlah pejabat untuk menelusuri asal-usul dokumen 53 titik. Pemeriksaan tersebut membuka temuan mengenai keberadaan draft tambahan yang tidak pernah melalui pembahasan formal. Draft itu disebut tidak berasal dari usulan awal desa dan tidak dibahas dalam mekanisme verifikasi resmi.
Sumber internal menyebut bahwa penyerahan draft tersebut terjadi di luar prosedur, tidak disertai berita acara, tidak melalui verifikasi lapangan, serta tidak berada dalam jalur administrasi yang semestinya. Temuan ini mengarah pada dugaan adanya intervensi terstruktur dalam proses penyusunan titik-titik tambahan.
Keberadaan draft terpisah tersebut memperkuat dugaan manipulasi, terutama karena beberapa titik tambahan disebut tidak pernah diajukan oleh masyarakat.
Sejumlah desa bahkan mengaku tidak mengetahui bahwa wilayah mereka dicantumkan sebagai calon lokasi tambang. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan publik mengenai siapa yang menyisipkan titik-titik tambahan tersebut serta bagaimana dokumen final dapat memuat lokasi yang tidak diusulkan oleh pemangku wilayah.
Pertanyaan utama kini kemudian mengarah kepada Bupati. Dokumen resmi penetapan WPR yang ditandatangani memuat 53 titik dan dinas teknis memastikan bahwa jumlah tersebut sesuai dengan seluruh berkas yang diproses sejak awal.
Dalam situasi demikian, sumber angka 16 titik yang diklaim Bupati menjadi tidak jelas.
Publik mempertanyakan alasan Bupati menyampaikan bahwa terjadi perubahan dokumen oleh pihak tertentu, sementara tidak terdapat bukti administratif yang mendukung klaim tersebut.
Pertanyaan lain yang muncul adalah apakah klaim lonjakan titik ini merupakan kekeliruan informasi, ketidaksinkronan internal, atau suatu upaya membangun narasi yang mengalihkan tanggung jawab?.
Hingga berita ini diterbitkan, Bupati Parigi Moutong belum memberikan penjelasan resmi mengenai perbedaan data tersebut, keberadaan draft tambahan, maupun dasar klaim bahwa usulan awal hanya berjumlah 16 titik.
Mengakhiri, Ade Prasetya juga menyesalkan sejumlah pemberitaan yang menyudutkan dirinya yang dirasa merugikan.
“Saya menyesalkan berita berita yang menurut saya telah mnyebarkan fitnah terhadap sya, dan telah merugikan sya. Karena sy tidak punya kepentingan apa apa..” pungkasnya.





