READNEWS.ID, OPINI – Sejarah Indonesia pasca-kemerdekaan 1945 telah ditandai oleh serangkaian transformasi politik yang mendalam, di mana tokoh-tokoh visioner sekaligus kontroversial memainkan peran sentral dalam membentuk identitas bangsa.

Di antara mereka, Jenderal Soeharto—Presiden Kedua Republik Indonesia—menjadi figur yang paling kompleks dan polarisasi. Memerintah selama 32 tahun, dari 1967 hingga 1998, era Orde Baru di bawah kepemimpinannya bukan hanya periode panjang kekuasaan, tetapi juga fondasi bagi modernisasi Indonesia yang masih terasa dampaknya hingga hari ini, pada 2025.

Warisan Ganda Seorang Pemimpin

Kepergian Soeharto pada 27 Januari 2008, di usia 86 tahun, memicu gelombang refleksi nasional yang terbelah: dari penghormatan sebagai “Bapak Pembangunan” hingga kecaman sebagai simbol otoritarianisme dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Buku Soeharto Memang ‘Hebat’: Menguak Tabir Pro dan Kontra di Balik Kepergiannya karya Wawan H. Purwanto (CMB Press, 2008), misalnya, muncul sebagai respons intelektual yang tepat waktu terhadap dinamika ini, menyajikan analisis seimbang yang menjadi dasar utama seminar ini. Dengan panjang 376 halaman, karya ini tidak sekadar kronologi, melainkan undangan untuk dialog mendalam tentang dualitas kepemimpinan Soeharto—sebuah “kehebatan” yang ironis, di mana pencapaian monumental dibayar dengan luka sosial yang abadi.

Lahirnya Orde Baru: Dari Kekacauan Menuju Stabilitas

Untuk memahami esensi seminar ini, kita perlu menyelami latar belakang historis era Orde Baru. Lahir dari kekacauan akhir Orde Lama di bawah Presiden Soekarno, Orde Baru dimulai secara formal melalui Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret 1966), yang memberikan wewenang luas kepada Soeharto sebagai Panglima Angkatan Darat untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.

Latar belakangnya adalah krisis multidimensional: kegagalan konfrontasi dengan Malaysia (1963–1966), inflasi hiper yang mencapai 650% pada 1965, dan puncaknya adalah peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965 yang dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Soeharto, yang saat itu menjabat sebagai Komandan Kostrad, memimpin operasi penumpasan yang brutal, menewaskan antara 500.000 hingga 1 juta orang—sebagian besar diduga anggota atau simpatisan PKI—dalam pembantaian massal yang menjadi noda hitam sejarah Indonesia.

Supersemar ini, yang hingga kini kontroversial karena dugaan pemalsuan atau pemaksaan terhadap Soekarno, menandai transisi kekuasaan. Pada 1967, Soeharto secara resmi menjadi Pejabat Presiden, dan pada 1968, ia terpilih secara “demokratis” melalui MPR, meskipun prosesnya didominasi oleh militer. Era Orde Baru, yang berlangsung hingga Reformasi 1998, dirancang sebagai koreksi terhadap “kekacauan” Orde Lama.

Struktur Kekuasaan dan Ideologi Orde Baru

Soeharto menerapkan konsep “demokrasi Pancasila” yang sebenarnya bersifat korporatis, di mana negara mengontrol semua aspek kehidupan melalui dwifungsi ABRI (Angkatan Berdiri Indonesia) dan Golkar sebagai partai dominan. Ciri utamanya adalah stabilitas politik yang ditegakkan dengan tangan besi: Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) menjadi alat represi terhadap oposisi, sementara sensor media dan pembatasan kebebasan berpendapat menjadi norma.

Keberhasilan Ekonomi dan Sosial Orde Baru

Namun, di balik otoritarianisme itu, Orde Baru berhasil membangun fondasi ekonomi yang kokoh. Program Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) pertama kali diluncurkan pada 1969, dengan fokus pada stabilisasi moneter melalui bantuan IMF dan Bank Dunia. Hasilnya mencengangkan: pertumbuhan PDB rata-rata 7% per tahun dari 1970-an hingga 1990-an, mengubah Indonesia dari negara miskin menjadi emerging economy.

Swasembada pangan dicapai pada 1984 melalui Revolusi Hijau, di mana produksi beras melonjak dari 12 juta ton menjadi 25 juta ton, mengurangi ketergantungan impor dan kemiskinan dari 60% menjadi 11% populasi. Infrastruktur nasional berkembang pesat: jaringan jalan tol, bandara internasional, dan irigasi sawah yang luas menjadi warisan konkret yang masih dimanfaatkan hari ini. Lebih dari itu, kebijakan sosial Orde Baru menunjukkan visi jangka panjang Soeharto.

Program Keluarga Berencana (KB) yang digulirkan sejak 1970-an berhasil menurunkan angka kelahiran dari 5,6 menjadi 2,3 per wanita pada 1990-an, mencegah ledakan demografis dan mendukung pembangunan manusia.

Pendidikan dasar ditingkatkan melalui Inpres SD (Instruksi Presiden Sekolah Dasar) 1973, yang membangun ribuan sekolah di pelosok, meningkatkan tingkat melek huruf dari 64% menjadi 90%.

Di bidang kesehatan, vaksinasi massal dan posyandu mengurangi angka kematian bayi secara signifikan. Stabilitas politik ini juga meredam konflik etnis dan agama yang meletus di era Soekarno, seperti pemberontakan DI/TII atau PRRI/Permesta, meskipun dengan biaya penindasan minoritas.

Pengamat seperti Daniel S. Lev dalam studinya tentang Orde Baru menyebut periode ini sebagai “keajaiban Asia” bagi Indonesia, di mana negara korporatis berhasil mengintegrasikan ekonomi pasar bebas dengan kontrol negara yang ketat, menarik investasi asing mencapai miliaran dolar dari Jepang dan Amerika Serikat.

“Keajaiban Asia” dan Citra Internasional Indonesia

Dampak positif ini tidak terbantahkan: Indonesia bergabung dengan ASEAN pada 1967, menjadi anggota G-77, dan bahkan diakui sebagai “Bintang Asia” oleh media internasional pada 1980-an.

Namun, “kehebatan” Soeharto tidak lepas dari bayang-bayang kegelapan yang kian pekat seiring berjalannya waktu. Di sisi negatif, rezim Orde Baru menjadi sinonim dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)—istilah yang dipopulerkan oleh mahasiswa selama Reformasi 1998.

Keluarga Soeharto, termasuk istrinya Tien Soeharto dan anak-anak seperti Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) serta Hutomo Mandala Putra (Tommy), menguasai monopoli bisnis: dari tol Trans-Jakarta hingga impor gula dan semen, menghasilkan kekayaan pribadi mencapai US$15–35 miliar menurut perkiraan Time Magazine.

Transparency International menempatkan Indonesia sebagai negara paling korup di Asia Tenggara pada akhir 1990-an, dengan kerugian negara triliunan rupiah. Lebih tragis lagi adalah catatan pelanggaran HAM yang sistematis.