Sisi Gelap Kekuasaan: Represi dan Pelanggaran HAM
Pembantaian pasca-G30S 1965 bukan hanya pembuka, tapi pola yang berulang: invasi Timor Timur 1975 menewaskan 200.000 jiwa, termasuk pembantaian Santa Cruz 1991; kerusuhan Tanjung Priok 1984 yang menewaskan puluhan demonstran Islam; dan puncaknya kerusuhan Mei 1998 yang menewaskan 1.200 orang, mayoritas etnis Tionghoa, disertai pemerkosaan massal yang tak tertangani.
Otoritarianisme ini juga membungkam suara: pemilu diatur agar Golkar menang 70–80%, media seperti Tempo ditutup pada 1994, dan ribuan aktivis seperti Marsinah (buruh yang dibunuh 1993) menjadi korban hilang paksa. Kritik ini semakin relevan ketika kita melihat kejatuhan Orde Baru.
Kejatuhan Sang Penguasa
Krisis moneter Asia 1997–1998 memperburuk ketimpangan: rupiah anjlok dari Rp2.400 menjadi Rp17.000 per dolar AS, memicu demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan yang memaksa Soeharto mundur pada 21 Mei 1998. Transisi ke Reformasi membuka kotak Pandora: Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibentuk, tapi upaya pengadilan
Soeharto atas KKN gagal karena kesehatannya memburuk. Bahkan saat meninggal pada 2008, ia masih berstatus terdakwa di pengadilan Tipikor, meskipun kasusnya dicabut atas permohonan keluarga. Kematian Soeharto di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, setelah 23 hari perawatan intensif akibat gagal jantung dan infeksi, memicu reaksi publik yang mencerminkan polarisasi warisannya.
Wafatnya Soeharto: Antara Duka dan Kontroversi
Pada 27 Januari 2008, berita wafatnya menyebar cepat: kompleks Dalem Kalitan di Solo dipadati ribuan pelayat, termasuk keluarga dan tokoh seperti Megawati Soekarnoputri, yang menyatakan duka cita nasional.
Doa massal di masjid-masjid dan gereja menunjukkan simpati luas; bahkan di desa-desa Jawa Tengah, warga menggelar selamatan tradisional, mengenang Soeharto sebagai “pak harto” yang sederhana—seorang petani yang bersepeda ke kantor.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan pidato nasional, menyebutnya “pemimpin besar” yang membawa kemajuan, dan mengumumkan hari libur nasional untuk pemakamannya di TPU Giri Jati, Jakarta, pada 29 Januari—upacara kenegaraan yang dihadiri 500.000 orang.
Media seperti Kompas dan Tempo melaporkan suasana haru, dengan headline “Pak Harto Wafat dengan Tenang” dari tim dokter kepresidenan. Namun, reaksi ini jauh dari seragam.
Aktivis HAM seperti Yap Thiam Hien dari YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) mengecam pemberitaan media sebagai “tidak proporsional,” menuntut evaluasi atas pelanggaran HAM daripada glorifikasi.
Demonstrasi kecil di depan RSCM oleh kelompok seperti KontraS menuntut pengadilan penuh, dengan spanduk “Soeharto Bukan Pahlawan.” Majalah Tempo edisi Februari 2008 berjudul “Selesai Sudah,” mengkritik upaya pemerintah memberi predikat pahlawan nasional—yang akhirnya gagal—sebagai gegabah.
Di kalangan etnis Tionghoa, trauma Mei 1998 membuat banyak yang diam, sementara di Timor Leste, peringatan diadakan untuk korban invasi. Reaksi internasional pun terbelah: The New York Times memuji pencapaian ekonomi tapi menyoroti “rezim diktator,” sementara mantan Sekjen PBB Kofi Annan menyatakan penghormatan pribadi.
Secara keseluruhan, kematian ini menjadi cermin masyarakat pasca-Reformasi: 60% responden survei LIPI 2008 melihat Soeharto positif untuk pembangunan, tapi 70% menolak pengampunan atas HAM. Di sinilah buku Wawan H. Purwanto masuk sebagai jembatan.
Buku Wawan H. Purwanto: Menjembatani Dua Sisi Sejarah
Sebagai jurnalis dan pengamat intelijen yang dikenal dengan karya tentang terorisme, Purwanto menulis buku ini sebagai refleksi pasca-kematian, mengumpulkan wawancara dengan 50 narasumber dari berbagai spektrum: mantan menteri seperti Widjojo Nitisastro (pro-pembangunan), aktivis seperti Amien Rais (kritikus), hingga korban seperti keluarga korban 1965.
Strukturnya tematik: bagian awal merekonstruksi hari-hari terakhir Soeharto, bagian tengah mengurai pro (ekonomi, stabilitas) dan kontra (KKN, represi), serta penutup merefleksikan warisan untuk demokrasi.
Purwanto menggunakan istilah “hebat” secara ironis, menggemakan pidato Soeharto sendiri, untuk menekankan bahwa evaluasi harus holistik—bukan hitam-putih. Buku ini, yang tersedia di perpustakaan nasional seperti Perpusnas, menjadi rujukan akademis karena netralitasnya, meskipun edisinya langka kini.
Relevansi Refleksi Soeharto di Tahun 2025
Seminar Soeharto Memang ‘Hebat’: Refleksi Warisan Orde Baru pada 2025 ini relevan karena Indonesia masih bergulat dengan bayang Orde Baru. Krisis demokrasi kontemporer—seperti polarisasi politik, korupsi endemik (Indeks Persepsi Korupsi 2024 masih 34/100), dan tuntutan rekonsiliasi HAM (UU No. 20/2022)—menggemakan masa lalu.
Di era digital, diskusi sejarah sering terdistorsi oleh media sosial, membuat ruang dialog akademis seperti ini krusial. Dengan basis buku Purwanto, seminar ini bertujuan membuka wacana inklusif, melibatkan generasi muda yang lahir pasca-1998, untuk belajar dari dualitas Soeharto: bagaimana “kehebatan” membangun tapi juga merusak. Ini selaras dengan semangat Pancasila, yang menekankan musyawarah mufakat dan keadilan sosial, guna membangun Indonesia yang lebih matang.
Penulis: Muhammad Sadig Alhabsyie
(Akademisi UIN Datokarama Palu / Pemerhati Gerakan Mahasiswa)





