YOGYAKARTA, READNEWS.ID – Di tengah sore yang perlahan meredup, ruang Pendhaoa Art Space di sudut Sewon, Bantul, mendadak menjadi lebih dari sekadar ruang galeri. Ia menjelma menjadi medan tafsir yang menggugah — tempat dua seniman muda, Agus Wicak dan Zakimuh, menggantungkan keresahan mereka dalam warna, bentuk, dan simbol yang tajam. Bertajuk “BIO DIVERSITY” dan “PARODI”, pameran tunggal keduanya yang digelar dari 19 Juli hingga 1 Agustus 2025 ini terasa seperti sepasang paru-paru yang bernapas dari satu udara — udara yang kian sesak oleh ketidaksadaran manusia.
Dibuka secara resmi oleh Gunadi Karjono, kolektor dan pecinta seni rupa kontemporer, pameran ini tak hanya menjadi ajang apresiasi estetika, tetapi juga refleksi mendalam atas zaman yang bergerak terlalu cepat — dan kadang, terlalu gegabah. Dalam pidatonya, Gunadi mengawali dengan sapaan yang merangkul semua kepercayaan:
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Shalom, Salam sejahtera bagi kita semua, Om swastiastu, Namo buddhaya, Salam kebajikan.”
Lalu ia menyambut hadirin — para seniman, kurator, pecinta seni, dan tamu undangan — dengan pengingat bahwa seni rupa bukan sekadar “pelipur lara atau hiasan dinding semata,” melainkan “penjaga ingatan kolektif bangsa, cermin identitas budaya, dan benteng pertahanan lunak bangsa Indonesia.”
Ia juga menegaskan: “Sejatinya apa yang ditampilkan Agus Wicak adalah dentitas bangsa, bagian dari mozaik nasional, dan ikut memberi warna dunia.”
Di sinilah Biodiversity and Mind #2 menemukan nadinya. Kurator pameran, Heri Kris, menyebut karya-karya Agus Wicak sebagai “permenungan ekologis yang menjelma simbol-simbol spiritual”. Melalui burung-burung endemik yang ia lukis dalam lanskap-lanskap yang terkoyak pembangunan, Agus menyusun puisi visual tentang kehilangan yang sunyi. Sawah-sawah yang digantikan beton, hutan yang terpangkas menjadi deret pabrik, dan langit yang tak lagi merdu oleh cuitan burung — semua hadir dalam kanvas-kanvasnya yang halus sekaligus menyayat.
Salah satu karya utama Agus, “Langit yang Tak Kembali”, menggambarkan seekor burung cendrawasih dengan sayap terlipat, berdiri di atas puing-puing ruko yang belum rampung. Di kejauhan, tampak menara-menara bor dan kabel listrik menyilang langit. “Saya ingin menggambarkan senyap yang perlahan datang, saat kita sibuk mengejar kemajuan tapi lupa siapa yang lebih dulu tinggal di sini,” ujar Agus lirih.
Di sisi lain ruang, dunia satir Zakimuh bergelora. Jika Agus mengajak kita merenung dalam diam, Zakimuh menohok dengan tawa getir. Melalui gaya visual yang melebih-lebihkan ekspresi dan gestur manusia, ia menyajikan parodi sosial yang menyindir gaya hidup urban: manusia berkepala ponsel, meja makan yang penuh gadget, hingga perempuan yang memerah susu sapi plastik. Dalam satu karya berjudul “Tuhan Datang Lewat Notifikasi”, Zakimuh menampilkan manusia bersujud di hadapan layar besar dengan ikon Wi-Fi sebagai halo di kepalanya.
Kritik-kritik Zakimuh tak berhenti pada teknologi. Ia juga menyinggung kerusakan ekologis sebagai konsekuensi langsung dari kerakusan manusia. Tapi alih-alih menyampaikan dengan amarah, ia memilih tawa sebagai senjata. “Manusia lebih mudah tersadar setelah tertawa, bukan dimarahi,” ujarnya kepada Tempo sambil tersenyum.
Kekuatan pameran ini justru terletak pada tarik-menarik antara dua pendekatan yang kontras: yang satu surealis-spiritual, yang lain satiris-pop. Tapi keduanya menyatu dalam satu napas: keprihatinan atas zaman yang kehilangan kendali. Kurator Heri Kris menggambarkan keduanya sebagai “dua suara dari ruang yang sama — ruang yang dipenuhi polusi, suara mesin, dan kesepian ekologis.”
Pameran ini bukan hanya menawarkan keindahan rupa. Ia menawarkan ruang untuk bertanya. Ruang untuk hening sejenak dan menengok kembali: burung-burung yang telah tiada, hutan yang hanya tersisa dalam kenangan, manusia yang semakin asing dari dunia yang melahirkannya.
Gunadi Karjono menutup pidatonya dengan kalimat yang menggema di benak banyak orang: “Ketika para pelukis menciptakan karya, mereka tidak sedang menggambar semata. Mereka sedang merekam sejarah, menyuarakan kritik sosial, dan membentuk kesadaran yang tak bisa digantikan oleh pidato politik atau undang-undang.”
Dan seni, dalam bentuk paling jujurnya, memang selalu lebih dulu bicara — sebelum bencana benar-benar tiba. *