Penurunan kelas menengah ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi mungkin belum diikuti oleh pemerataan pendapatan dan kesempatan yang kuat, yang sangat penting agar Indonesia tidak stagnan di pendapatan menengah saja.

Di tataran global, Indonesia kini bermain dalam arena yang makin kompleks: tidak hanya Blok Barat yang selama ini menjadi mitra konvensional, tetapi juga masuk dalam anggota BRICS, di mana negara-negara berkembang dengan ekonomi besar mencoba memperkuat kerja sama strategis. Keanggotaan Indonesia dalam BRICS membuka potensi kemitraan baru dalam perdagangan, investasi, dan diplomasi ekonomi yang bisa mengimbangi dominasi kebijakan yang sering didikte oleh blok-blok kekuatan lama.

Program 80.081 koperasi desa/kelurahan Merah Putih bukan hanya simbol, tetapi bisa menjadi jalur nyata distribusi kekuasaan ekonomi ke akar rumput. Saat ini koperasi tersebut dilengkapi dengan berbagai fungsi seperti simpan-pinjam, outlet logistik desa, gudang dan pengering padi/jagung, agen pupuk, bahkan klinik/apotek desa sesuai potensi lokal. Jika dioperasikan dengan baik, mereka bisa menyerap tenaga kerja lokal, memperkuat produksi lokal, dan mengurangi ketergantungan impor produk-produk dasar.

Namun agar semuanya tidak berakhir sebagai narasi kosong, beberapa hal harus dilakukan secara nyata. Pemerintah pusat dan daerah harus menjamin pendidikan vokasi yang relevan secara lokal dan skill yang dibutuhkan global. Pengembangan teknologi, digitalisasi UMKM, serta integrasi koperasi dalam rantai nilai ekonomi nasional dan ekspor harus diperkuat. Regulasi dan pengawasan juga perlu diperkuat terutama dalam aspek keadilan sosial, agar pertumbuhan ekonomi tidak cuma milik segelintir kelas pengusaha besar

Lalu bagaimana dengan kita di Sulawesi Tengah? Pertama, anak muda tidak boleh hanya menonton. Bonus demografi berlaku juga di sini. Generasi muda Sulteng harus berani masuk sebagai pelaku ekonomi kreatif, entrepreneur, dan inovator lokal yang bisa terkoneksi dengan pasar global.

Kedua, masyarakat harus menjaga solidaritas dan memperkuat ekonomi berbasis komunitas. Desa wisata, koperasi nelayan, UMKM pangan lokal, hingga industri kreatif budaya bisa menjadi penggerak. Dengan basis ekonomi rakyat yang kuat, Sulteng tidak akan mudah terguncang oleh fluktuasi global.

Ketiga, pemerintah daerah perlu mengambil peran aktif. Momentum nasional harus diterjemahkan dalam strategi lokal: memperkuat pendidikan vokasi, mendorong hilirisasi nikel dan kakao, serta memastikan investasi yang masuk memberi nilai tambah, bukan sekadar mengeksploitasi.

Pada akhirnya, demo, reshuffle kabinet, koperasi desa, bonus demografi, hingga percaturan global hanyalah kepingan puzzle. Kita bisa memilih melihatnya sebagai kekacauan tanpa arah, atau menjahitnya menjadi narasi kebangkitan bangsa. Dari jalanan hingga ke istana, dari desa hingga ke forum dunia, masa depan Indonesia sedang dipertaruhkan. Pertanyaannya, apakah kita siap mengambil peran, atau membiarkan diri menjadi penonton sejarah?

 

Penulis : Dr. Ir. Ihksan Syarifuddin, ST., M.M
Praktisi Marketing, Direktur Transdata Sulawesi Gemilang. Wakil Ketua Kadin Kota Palu