Bagi dia, pengembangan kembali kelapa dalam berarti menjaga plasma nutfah lokal sekaligus menciptakan peluang ekonomi baru bagi petani. Apalagi, sebagian besar penduduk pedesaan di Sulteng masih menggantungkan hidup dari sektor pertanian, termasuk perkebunan kelapa.

Doktor Sosial Ekonomi Pertanian, kelahiran Ampibabo, 3 Juni 1974 ini, mendorong agar momentum usia 61 tahun Provinsi Sulawesi Tengah dimanfaatkan untuk menyusun strategi pengembangan kembali kelapa dalam. Strategi itu bisa mencakup: Program Replanting dengan bibit unggul dan dukungan penuh pemerintah, Pelatihan dan pendampingan teknologi untuk meningkatkan produktivitas, Penguatan pasar dan akses distribusi hasil olahan seperti kopra, dan Inovasi produk olahan untuk meningkatkan nilai tambah.

Menurut Dr. Rustam, peluang pasar masih terbuka lebar. Permintaan terhadap kelapa dan produk turunannya seperti kopra, minyak kelapa, hingga air kelapa masih tinggi. Pasar pun tersedia, baik lokal maupun luar daerah seperti Surabaya, Gorontalo, dan Luwuk.

Dukungan pemerintah juga bukan hal yang asing. Selama ini sudah ada bantuan bibit, subsidi pupuk, dan pelatihan. Namun, menurut Prof. Rustam, semua itu masih belum terintegrasi dalam kerangka pengembangan jangka panjang.

Meski peluang terbuka, sejumlah ancaman tetap menghantui. Di antaranya harga kelapa yang fluktuatif, persaingan antarpetani, rendahnya upah tenaga kerja panen, hingga kurangnya penggunaan teknologi modern.

“Petani kita masih mengandalkan bibit dari kebun sendiri. Pupuk dan obat mahal. Teknologi pun belum masuk optimal,” jelasnya.

Itulah sebabnya, ia berharap, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah bersama instansi terkait dapat menjadikan revitalisasi kelapa dalam sebagai agenda penting pembangunan pertanian.

“Kelapa bukan hanya pohon. Ia adalah penghidupan, sejarah, dan harapan. Mari kita jaga warisan ini dan kembalikan kejayaan Sulawesi Tengah sebagai negeri kelapa,” pungkas Dr. Rustam. ***