Di Sulawesi Tengah, misalnya, yang baru saja mulai pulih dari bencana alam, kebijakan ini berpotensi memperlambat rekonstruksi pasca bencana, mengingat banyak proyek infrastruktur yang bergantung pada dana APBN.
Ketua LSM Gerakan Berantas Korupsi (GEBRAK), M. Rizky Hidayatullah, menyatakan bahwa efisiensi anggaran bukan berarti mengurangi total alokasi APBN.
Ia menjelaskan bahwa total belanja APBN 2025 mencapai Rp3.621,3 triliun, dengan belanja pemerintah pusat sebesar Rp2.701,4 triliun dan TKD sebesar Rp919,9 triliun.
Menurutnya, kebijakan ini lebih bersifat realokasi atau shifting anggaran dari program-program kementerian dan lembaga ke program prioritas pemerintahan Prabowo, seperti program makan bergizi gratis dan pendidikan.
Namun, kebijakan ini juga menghadirkan tantangan bagi kementerian, lembaga, serta aparatur sipil negara (ASN) yang terlibat. Pemangkasan anggaran operasional, seperti pengurangan alat tulis kantor (90 persen), kegiatan seremonial (56,9 persen), serta rapat dan seminar (45 persen), membuat efisiensi ini terasa hingga ke tingkat kelembagaan.
Kebijakan ini kemudian ditegaskan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melalui Surat Edaran Nomor S-37/MK.02/2025 pada 24 Januari 2025.
Dalam surat tersebut, terdapat 16 item belanja yang harus mengalami pemangkasan dengan persentase bervariasi, mulai dari 10 persen hingga 90 persen. Beberapa di antaranya adalah perjalanan dinas (53,9 persen), pemeliharaan dan perawatan (10,2 persen), hingga infrastruktur (34,3 persen).
Muncul pertanyaan, apakah kebijakan efisiensi ini akan dikaji ulang atau tetap dilanjutkan tanpa perubahan? Keputusan ada di tangan Presiden Prabowo Subianto.
Harapannya, kebijakan ini benar-benar membawa manfaat bagi masyarakat luas. Jika tidak, perlu ada evaluasi ulang agar kebijakan ini tidak justru menjadi beban bagi pembangunan nasional.