READNEWS.ID, POSO – Terkait somasi yang dilayangkan kepada orang tua ASK oleh pihak Pondok Pesantren (Ponpes) Babul Khair Poso, kuasa hukum orang tua ASK menilai langkah tersebut sebagai bentuk intimidasi hukum.
“Kami menilai somasi ini merupakan tindakan intimidatif hukum (menacing) yang berupaya melakukan kriminalisasi (kriminalisering) terhadap orang tua korban,” ujar M. Wijaya, S.H., M.H., yang didampingi rekan kuasa hukumnya, Eko Agung, S.H., kepada sejumlah awak media, Rabu (15/10).
Lebih lanjut, M. Wijaya menegaskan bahwa pihaknya sangat menyayangkan sikap pimpinan pondok pesantren yang seharusnya menjadi teladan dalam kebijaksanaan dan penyelesaian masalah secara etis, justru memilih melayangkan somasi dengan ancaman pidana dan gugatan perdata terhadap kliennya.
“Tindakan ini tidak sepantasnya dilakukan dan mengindikasikan pengabaian terhadap nilai-nilai edukatif,” tegasnya.
Menurut M. Wijaya, sebagai respons terhadap tindakan intimidatif tersebut, pihaknya selaku kuasa hukum orang tua ASK telah mendatangi dan berkoordinasi dengan Kepolisian Resor (Polres) Poso pada Rabu (15/10), untuk memastikan proses hukum atas laporan pengaduan kliennya berjalan secara efektif.
Ia menjelaskan bahwa langkah hukum yang diambil kliennya merupakan manifestasi dari pelaksanaan parental duty dan hak konstitusional (ius constituendi) untuk memperoleh perlindungan hukum.
“Kami mempercayakan sepenuhnya penanganan kasus ini kepada pihak kepolisian, berlandaskan asas keadilan (rechtvaardigheidsbeginsel) dan profesionalisme aparat penegak hukum,” tambahnya.
Menanggapi somasi yang disampaikan pihak Ponpes Babul Khair, kuasa hukum orang tua ASK menyatakan dalam jawaban atas somasi tersebut bahwa mereka menolak dan membantah dengan tegas seluruh dalil yang menyebut telah terjadi penyelesaian damai pada 12 dan 16 Agustus 2025.
“Faktanya, tidak pernah ada kesepakatan damai yang substantif dan mengikat secara hukum,” jelasnya.
Ia menilai klaim perdamaian tersebut sebagai ilusi penyelesaian masalah (illusory settlement) dan defectus substantiae atau cacat substansi, yang bertujuan mengeliminasi tanggung jawab institusional.
“Oleh karena itu, kami menolak ancaman tuntutan pidana melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta prosedur somasi yang tidak transparan dan bertentangan dengan asas kepastian hukum (beginsel van rechtszekerheid),” urainya.
Lebih lanjut, pihak kuasa hukum orang tua ASK juga menyampaikan peringatan hukum balik terkait akuntabilitas institusi. Menurutnya, pondok pesantren terikat oleh asas in loco parentis, yang mewajibkan lembaga pendidikan untuk menjamin perlindungan bagi para santri.
“Somasi yang dilayangkan pimpinan pondok pesantren justru menunjukkan indikasi kelalaian (negligence) institusional dan penolakan terhadap pertanggungjawaban (accountability),” jelasnya.
Sebagai bentuk keseriusan, kuasa hukum menyatakan kesiapan untuk menempuh jalur hukum secara komprehensif, antara lain: