READNEWS.ID, JAKARTA – Potensi Presiden Joko Widodo (Jokowi) dimakzulkan sebagai kepala negara bisa saja terjadi di akhir periode pemerintahannya.
Dugaan sikap cawe-cawe Jokowi di Pilpres 2024 hingga skandal “Mahkamah Keluarga”, disiyalir menuai perhatian publik, pengamat politik hingga para politisi. Hal tersebut menimbulkan wacana, salah satunya pemakzulan terhadap Presiden Jokowi.
Wacana pemakzulan Presiden Joko Widodo ini mencuat saat Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera membuka opsi pemakzulan terhadap Jokowi jika dugaan cawe-cawe atau campur tangan dalam Pilpres 2024 terbukti.
“Kalau jadi dan faktanya verified, pemakzulan bisa menjadi salah satu opsi,” ujar Mardani di Senayan, Jakarta, Selasa (31/10/ 2023).
Menurut Politisi PKS tersebut, campur tangan Jokowi di Pilpres terindikasi menabrak banyak peraturan. Hal itu berbahaya bagi proses demokrasi.
“Cawe-cawe-nya berbahaya sekali. Menabrak banyak hal,” ujar Mardani.
Kemudian, bagaimana sebenarnya pemakzulan presiden dalam undang-undang dan bagaimana prosesnya?
Pemakzulan bisa didefinisikan sebagai proses, cara, atau perbuatan untuk memakzulkan seseorang dari jabatannya, memberhentikan dari jabatan, atau meletakkan jabatannya (sendiri) sebagai pemimpin.
Pemakzulan Presiden atau Wakil Presiden telah diatur dalam Pasal 7A dan 7B Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Pasal tersebut berbunyi: “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
Proses pemakzulan juga harus selalu mematuhi konstitusi sebagai manifestasi dari prinsip negara berdasarkan kedaulatan rakyat, yang dijalankan sesuai dengan UUD 1945.
Menurut UUD 1945, langkah pemakzulan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden harus dimulai dengan pengajuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Sebelum pengajuan formal kepada MPR, DPR sebagai pemegang posisi hukum harus terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
Kemudian proses berikutnya melibatkan sidang paripurna MPR. Keputusan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden harus dihadiri oleh minimal 3/4 dari total anggota MPR dan memerlukan persetujuan dari setidaknya 2/3 dari jumlah anggota MPR yang hadir.
Dalam kesempatan terpisah, Pengamat Politik dan Direktur Eksekutif Voxpol Center Research & Consulting, Pangi Syarwi Chaniago mengomentari tentang putusan MK yang meloloskan Gibran telah mempertebal coreng di muka lembaga yang dianggap sebagai benteng konstitusi terakhir itu. Menurutnya, sebelum ada putusan itu, publik sudah kerap mempertanyakan kredibilitas hakim-hakim MK.
“Justru MK menjadi lembaga yang memunculkan distrust tinggi sekali di mata masyarakat. MK sudah kehilangan akal sehat dan memainkan akal bulusnya untuk meloloskan ambisi satu orang untuk kepentingan kelompok keluarga Presiden Jokowi,” ujar Pangi.
Pangi juga menjelaskan, dengan lahirnya putusan kontroversial itu, publik akan sulit untuk percaya bahwa Pemilu 2024 bakal berjalan jujur dan adil.
“Jangan lupa, pada tanggal 14 Februari (pencoblosan Pemilu 2024), Presiden Jokowi masih menjabat, Kendali penuh masih ada di tangan dia. Jadi, menurut saya, pemilu tidak akan berjalan fair. Ada potensi tergelincir ke abuse of power,” ucap Pangi. (AHK)