READNEWS.ID, OPINI – Kabupaten Sigi menyimpan potensi pariwisata yang selama ini belum tergarap optimal. Padahal, letaknya yang strategis di sebelah selatan Kota Palu menjadikan wilayah ini sebagai kawasan penyangga yang sangat potensial untuk pengembangan pariwisata berbasis alam, budaya, dan pertanian.
Dengan akses transportasi udara melalui Bandara Mutiara SIS Al-Jufri Palu yang hanya berjarak sekitar satu jam perjalanan darat, serta infrastruktur jalan yang semakin membaik, Sigi seharusnya bisa menjadi tujuan wisata unggulan alternatif di Sulawesi Tengah.
Sigi memiliki beragam destinasi wisata yang luar biasa secara visual maupun nilai sejarah dan budayanya. Danau Lindu, misalnya, menyuguhkan panorama alam yang memesona sekaligus menjadi pintu masuk ke Taman Nasional Lore Lindu.
Tempat ini tak hanya cocok untuk kegiatan wisata alam, tetapi juga menyimpan kekayaan biodiversitas dan keunikan budaya masyarakat lokal. Kemudian, Bukit Teletubbies di Sibedi menyajikan lanskap perbukitan hijau yang mirip dengan destinasi hits di berbagai daerah Indonesia. Keindahan ini semakin lengkap dengan adanya Danau Tambing yang menjadi pusat kegiatan perkemahan, hingga ke permandian air panas Bora yang bisa menjadi spot unggulan untuk wisata kesehatan dan relaksasi.
Menariknya, Sigi tidak memiliki garis pantai, yang selama ini menjadi andalan bagi banyak daerah dalam membangun sektor pariwisata. Namun hal ini justru menjadi kekuatan tersendiri. Sebab dengan lahan perkebunan dan pegunungan yang luas, Sigi berpotensi besar dalam mengembangkan konsep agrowisata dan agribisnis terpadu.
Wilayah seperti Mantikole, Wera, hingga jalur Napu-Bada bisa diarahkan sebagai pusat wisata perkebunan dan budaya. Kehadiran situs-situs megalitikum di wilayah Bada, yang masuk kawasan Lore Lindu, bisa dipadukan dalam satu paket wisata sejarah dan budaya yang sangat kuat nilainya.
Selain potensi destinasi, Sigi juga memiliki keuntungan sosial dan budaya. Masyarakat lokal di berbagai kecamatan memiliki budaya gotong royong yang masih kuat, tradisi yang kaya, serta kuliner khas yang dapat menjadi daya tarik wisata tersendiri.
Jika pendekatan pengembangan wisata dilakukan melalui model Community Based Tourism (CBT), di mana masyarakat menjadi subjek utama dalam aktivitas wisata, maka manfaat ekonominya akan langsung menyentuh akar rumput. Model ini terbukti berhasil di berbagai daerah Indonesia, dan sangat mungkin direplikasi di Sigi.
Pendekatan berbasis komunitas ini bukan hanya soal memberdayakan warga lokal sebagai pelaku usaha homestay, pemandu wisata, atau pengrajin suvenir. Lebih dari itu, pendekatan ini memperkuat identitas dan kedaulatan budaya lokal. Misalnya, dengan menonjolkan nilai-nilai lokal dalam setiap layanan pariwisata: dari narasi sejarah megalit yang dikemas dalam tur edukatif, penyajian kuliner lokal dalam balutan storytelling, hingga pertunjukan kesenian daerah yang tampil dalam momen tertentu.
UMKM lokal juga akan menjadi pihak yang sangat diuntungkan jika ekosistem pariwisata tumbuh sehat. Permintaan terhadap makanan ringan khas, kopi lokal, kerajinan tangan, hingga kebutuhan logistik wisata akan mendorong munculnya pelaku-pelaku usaha baru. Ini artinya, pariwisata bisa menjadi pintu masuk untuk membangkitkan ekonomi lokal dan menciptakan lapangan kerja, khususnya bagi generasi muda.
Penting untuk dicatat, pembangunan pariwisata di Sigi tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan proyek jangka pendek. Dibutuhkan visi jangka panjang yang menggabungkan promosi, pembangunan infrastruktur, pembinaan SDM, serta pelestarian lingkungan dan budaya. Pemerintah daerah harus menjadi fasilitator utama dengan menggandeng akademisi, komunitas lokal, pelaku usaha, dan investor yang punya visi keberlanjutan.
Salah satu strategi yang bisa dilakukan adalah membentuk cluster wisata yang mengintegrasikan destinasi dalam jalur yang mudah diakses dan dikemas sebagai paket wisata tematik. Misalnya, cluster Lindu-Tambing-Bada untuk wisata alam dan sejarah; cluster Bora-Sibedi untuk wisata kesehatan dan foto; serta cluster Napu-Mantikole untuk agrowisata dan petualangan. Setiap cluster ini bisa dikelola oleh kelompok sadar wisata (Pokdarwis) yang profesional, dengan pelatihan dan pendampingan berkala.
Pemasaran digital juga memegang peran penting. Dengan narasi visual yang kuat, foto dan video destinasi yang dikelola secara profesional, serta sinergi dengan influencer lokal dan nasional, Kabupaten Sigi bisa memperkuat identitas pariwisatanya di era ekonomi digital. Dukungan promosi dari Dinas Pariwisata, Dinas Kominfo, hingga kolaborasi dengan marketplace dan platform perjalanan juga menjadi elemen yang tak bisa diabaikan.
Tentu saja, tantangan tetap ada. Mulai dari keterbatasan anggaran, kesiapan SDM, hingga kebutuhan perbaikan infrastruktur pendukung. Namun jika semua pihak punya visi yang sama, yakni menjadikan Sigi sebagai kabupaten pariwisata yang berdaya saing, maka tantangan ini bisa diatasi satu per satu. Banyak daerah di Indonesia yang dulunya tak dikenal, kini menjadi ikon wisata karena kegigihan komunitas dan dukungan pemerintah yang progresif.
Kabupaten Sigi tidak boleh puas sebagai penyangga Kota Palu. Ia harus berani tampil sebagai tujuan wisata mandiri, yang mampu menawarkan pengalaman berbeda. Dengan perpaduan alam, budaya, dan kearifan lokal, serta pendekatan pariwisata yang inklusif dan berbasis masyarakat, Sigi punya semua bahan untuk menjadi daerah yang tidak hanya indah dikunjungi, tapi juga layak untuk dijadikan model pembangunan daerah berbasis potensi sendiri.
Kini saatnya membangun narasi baru: Sigi bukan hanya kabupaten penyangga, tapi destinasi unggulan Sulawesi Tengah yang sedang menunggu untuk dibuka pintunya kepada dunia.
Penulis: Dr. Ir. Ihksan Syarifuddin, ST., M.M
Praktisi Marketing, Direktur Transdata Sulawesi Gemilang