READNEWS.ID, EDITORIAL – Pendidikan diakui sebagai salah satu fondasi penting dalam membangun masa depan bangsa. Melalui pendidikan, generasi muda tidak hanya dibekali pengetahuan, tetapi juga diberi kesempatan untuk memperbaiki taraf hidup dan mengentaskan diri dari kemiskinan.

Namun, di Indonesia, pertanyaan besar muncul: Apakah pendidikan ini benar-benar untuk murid, atau justru menjadi ladang bagi koruptor?

Kenyataan pahit yang masih menghantui sektor pendidikan adalah maraknya kasus korupsi yang terus terjadi dari tahun ke tahun. Ironisnya, pendidikan yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara justru dihalangi oleh praktik korupsi yang menggerogoti anggaran dan fasilitas pendidikan.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa sepanjang tahun 2023, terdapat 30 kasus korupsi di sektor pendidikan yang ditindak oleh penegak hukum, dengan 40% di antaranya melibatkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Pertanyaan kritis ini perlu kita jawab: untuk siapa sebenarnya pendidikan ini?

Hak Pendidikan Dijamin Konstitusi

Pendidikan bukanlah sekadar kewajiban moral atau tanggung jawab sosial, melainkan hak yang dijamin oleh konstitusi Indonesia. Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.” Hak ini ditegaskan kembali melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), yang mewajibkan setiap warga negara mengikuti pendidikan dasar tanpa biaya. Lebih jauh, Pasal 34 UU Sisdiknas dengan jelas menyatakan bahwa pemerintah wajib membiayai pendidikan dasar tanpa memungut biaya apa pun.

Namun, fakta di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Banyak sekolah, terutama di daerah, masih memungut biaya yang memberatkan orang tua. Pungutan liar di institusi pendidikan menjadi pemandangan biasa. Apakah ini sejalan dengan amanat UUD 1945 dan UU Sisdiknas? Jelas tidak. Negara seharusnya menjamin akses pendidikan yang bebas biaya, tetapi kenyataannya, korupsi justru memperparah kesenjangan akses tersebut.

Anggaran Pendidikan: Cukupkah atau Salah Kelola?

Setiap tahunnya, pemerintah membanggakan alokasi anggaran pendidikan yang konsisten mencapai 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pada 2024, anggaran pendidikan mencapai Rp 665 triliun, angka tertinggi sepanjang sejarah. Namun, dengan angka sebesar itu, mengapa masalah pendidikan seperti rendahnya kualitas fasilitas sekolah, kesejahteraan guru, dan tingginya angka putus sekolah masih terjadi?

Masalah utamanya bukan hanya soal kecukupan anggaran, tetapi juga terkait dengan perencanaan yang buruk dan alokasi yang tidak tepat sasaran.

Salah satu contohnya adalah alokasi anggaran untuk Program Prakerja yang menelan Rp 4,8 triliun dari pos pendidikan, padahal program ini tidak berkaitan langsung dengan pemenuhan hak pendidikan warga negara. Program tersebut awalnya dirancang sebagai respons terhadap dampak pandemi Covid-19, tetapi di tengah pemulihan ekonomi, anggaran besar masih dialokasikan untuk program yang tak relevan dengan pelayanan pendidikan dasar.

Tantangan Korupsi di Sektor Pendidikan

Korupsi di sektor pendidikan bukan lagi hal baru, tetapi tren yang terus berulang. Praktik ini terjadi di banyak lini, mulai dari pengadaan barang dan jasa, distribusi dana BOS, hingga proyek infrastruktur sekolah.

ICW menyoroti bahwa korupsi pendidikan tetap berada di posisi lima besar sektor yang paling banyak dikorupsi. Bagaimana mungkin kita bisa berharap pada pendidikan yang berkualitas jika dana yang seharusnya untuk murid malah disalahgunakan oleh para koruptor?

Korupsi ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merampas masa depan anak-anak Indonesia. Dana yang seharusnya digunakan untuk memperbaiki sekolah yang rusak, meningkatkan kesejahteraan guru, atau menyediakan buku-buku pelajaran, malah hilang ke kantong para pelaku korupsi. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanat UUD 1945 dan UU Sisdiknas yang menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan.

Solusi: Pendidikan Bebas Korupsi dan Berkeadilan

Untuk keluar dari krisis ini, ada beberapa langkah mendesak yang perlu diambil pemerintah. Pertama, evaluasi total terhadap sistem alokasi anggaran pendidikan.

Olehnya, pemerintah harus benar-benar memahami kebutuhan dasar pendidikan dan memastikan anggaran yang dialokasikan tepat sasaran. Setiap pos anggaran harus dirancang untuk menjawab kebutuhan mendasar, seperti peningkatan kualitas pendidikan dasar tanpa pungutan biaya dan pemberantasan pungutan liar di sekolah.

Kedua, anggaran pendidikan harus benar-benar memprioritaskan kesejahteraan guru, pengembangan fasilitas sekolah, dan program wajib belajar. Sebagaimana diamanatkan oleh UU Sisdiknas, pendidikan dasar harus bebas biaya, dan itu membutuhkan komitmen anggaran yang memadai. Pemerintah tidak boleh bersembunyi di balik alasan keterbatasan anggaran, sementara alokasi yang ada justru salah sasaran.

Ketiga, komitmen pemberantasan korupsi di sektor pendidikan harus ditegakkan dengan lebih serius. Kasus-kasus korupsi dana BOS dan proyek-proyek pendidikan lainnya harus ditindak tegas. Penegak hukum harus bekerja lebih keras untuk memberantas para pelaku korupsi yang merusak masa depan pendidikan bangsa.

Pendidikan, Bukan untuk Koruptor

Pendidikan adalah hak fundamental setiap anak bangsa. Setiap rupiah yang dialokasikan untuk pendidikan harus dipastikan sampai ke tangan murid-murid yang berhak menerimanya, bukan jatuh ke tangan koruptor.

Pemerintah memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk menjamin bahwa hak atas pendidikan ini tidak disalahgunakan oleh segelintir orang demi keuntungan pribadi.

Sudah saatnya kita bertanya dengan lebih tegas: pendidikan ini untuk siapa? Untuk murid yang haus akan pengetahuan, atau untuk koruptor yang tamak akan kekayaan?.

Tanpa langkah nyata untuk mencegah dan memberantas korupsi di sektor pendidikan, cita-cita luhur untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas dan berkeadilan akan terus menjadi ilusi.