Di dalam rumah ini, terjalinlah solidaritas dan semangat persatuan untuk melawan penindasan, meskipun dalam kondisi yang sulit.

Namun, keberanian Si Pitung tidak luput dari perhatian pemerintah kolonial Belanda. Mereka melakukan berbagai upaya untuk menangkap Si Pitung dan menghancurkan basis perlawanannya. Namun, Si Pitung selalu berhasil lolos dari jeratan penjajah, bahkan di dalam labirin rumahnya sendiri.

Puncak dari perlawanan Si Pitung terjadi pada tahun 1908, ketika Belanda melakukan razia besar-besaran terhadap rumah-rumah di Kampung Makassar. Meskipun rumah Si Pitung berhasil bertahan dari serangan tersebut, namun Si Pitung sendiri tertangkap dan akhirnya dihukum mati oleh pemerintah kolonial saat itu.

Rumah Si Pitung terkenal dengan struktur bangunannya yang sederhana namun kokoh. Dinding-dindingnya terbuat dari bambu dan atapnya dari daun kelapa, menciptakan suasana yang ramah namun tak terlihat oleh mata-mata Belanda.

Kemudian, pemerintah Indonesia melakukan renovasi dengan meninggikan bangunan setinggi 4 meter (agar terhindar dari air laut yang pasang), mengganti lantai aslinya yang tadinya terbuat dari bilah-bilah bambu lalu diganti dengan kayu.

Dua tahun kemudian dilakukan renovasi kembali oleh Dinas Kebudayaan Jakarta Utara dengan memberi pagar yang mengelilingi bangunan rumah Si Pitung dan sejak tahun 1970-an pemerintah Jakarta memutuskan untuk mengubahnya menjadi museum.

Setelah kematiannya, rumah Si Pitung tetap menjadi simbol perlawanan dan keberanian. Meskipun telah berpuluh-puluh tahun berlalu, namun cerita tentang Si Pitung dan rumahnya tetap hidup dalam ingatan masyarakat Jakarta. Banyak yang menganggap rumah Si Pitung sebagai tempat suci yang harus dijaga dan dilestarikan sebagai bagian dari sejarah perjuangan bangsa.

Rumah Si Pitung yang berlokasi di Kelurahan Marunda, Kecamatan Cilincing Jakarta Utara kini menjadi saksi bisu dari sejarah sang legenda Betawi yang tak lekang oleh waktu. (AHK)