READNEWS.ID, EDITORIAL – Di atas panggung gemerlap Semarak Sulteng Nambaso 2025, tepuk tangan membahana, sorotan lampu menari, dan lantunan musik menggema di udara.
Namun, di balik tirai kemeriahan tersebut, tersimpan tanya besar: siapa sebenarnya yang tengah menari di atas bara, dan siapa yang akan menjadi tumbal dari kegaduhan anggaran yang membayangi perayaan akbar ini?
Peringatan Hari Ulang Tahun ke-61 Provinsi Sulawesi Tengah tahun 2025 diwarnai oleh penyelenggaraan sebuah event spektakuler selama satu bulan penuh. Namun, jauh dari esensi peringatan yang seharusnya sarat makna reflektif dan substansial, kegiatan ini justru menggiring opini publik ke pusaran kontroversi dan dugaan pelanggaran serius.
Sorotan publik tertuju pada berbagai ketidakwajaran, mulai dari ketidaktransparanan informasi anggaran, potensi tumpang tindih pembiayaan antara dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan sponsor, hingga dugaan keterlibatan perusahaan tambang yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan gratifikasi.
Laporan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Rumah Hukum Tadulako memperkuat kecurigaan tersebut, menyatakan bahwa event ini tidak membawa dampak produktif bagi masyarakat, melainkan hanya menjadi ajang pemborosan miliaran rupiah.
Jika diamati secara saksama, kegiatan yang disebut-sebut sebagai pesta rakyat ini pada kenyataannya didominasi oleh konser artis, sedangkan program lainnya berlangsung dengan daya tarik yang minim.
Padahal, dalam konteks nasional, Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, tengah berupaya keras mewujudkan efisiensi fiskal untuk mendukung program-program prioritas yang berpihak pada masyarakat.
Dalam terang itu, pelaksanaan Semarak Sulteng Nambaso 2025 tampak kontras, bahkan terkesan sebagai bentuk pembangkangan terhadap semangat penghematan anggaran negara.
Tambahan polemik muncul dari pernyataan yang kontradiktif dari Ketua Panitia, Faidul Keteng. Dalam beberapa media, ia mengklaim bahwa dana acara dihimpun oleh Event Organizer (EO) berdasarkan surat rekomendasi gubernur. Baca disini
Namun, di media lainnya, ia menyebut tidak ada keterlibatan EO sama sekali, dan bahwa seluruh kegiatan dikelola oleh panitia dan relawan yang bekerja secara sukarela. Baca disini.
Ketidakkonsistenan ini menimbulkan kebingungan sekaligus ketidakpercayaan publik terhadap validitas informasi yang disampaikan oleh pihak penyelenggara.
Dugaan semakin menguat ketika hasil investigasi menunjukkan bahwa pendanaan acara dihimpun melalui koordinasi sejumlah kepala dinas.
Jika benar dana berasal dari kontribusi para kontraktor rekanan dinas, maka timbul pertanyaan mendasar: apakah kontribusi tersebut murni sukarela atau justru menyimpan konsekuensi transaksional di balik layar?
Yang lebih memprihatinkan, Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid, yang dikenal luas sebagai figur religius dan anti-korupsi, terseret dalam pusaran kontroversi ini. Meskipun tidak ada bukti langsung yang mengaitkannya, posisi beliau sebagai kepala daerah menempatkannya dalam ruang sorotan yang tidak menguntungkan.
Dalam sebuah negara hukum, kredibilitas pemimpin sangat dipengaruhi oleh bagaimana ia merespons tudingan terhadap penyelenggaraan kegiatan yang berada di bawah otoritasnya.
Gerakan Berantas Korupsi (GEBRAK) melalui Abdul Kadir bahkan telah secara terbuka mendorong Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah untuk mengusut secara tuntas dugaan pelanggaran dalam event ini. Pernyataan GEBRAK mencerminkan keresahan masyarakat.
“Ungkap sejelas-jelasnya, tangkap pelakunya jika memang ada pelanggaran. Jika ada yang mendalangi, ungkap ke publik.” ujar Kadir. Ju’mat (13/6)
Apalagi, rumor yang berkembang mengenai pertemuan antara sejumlah oknum aparatur sipil negara dan kontraktor di sebuah kafe untuk membahas pendanaan konser penutupan semakin memperunyam dugaan yang disangkakan pada acara tersebut.
Apabila fakta ini terbukti, maka hal tersebut bukan lagi sekadar penyimpangan prosedur, melainkan penyalahgunaan kewenangan.
Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah kini menghadapi momentum penting. Jika penyelidikan mandek atau tidak tuntas, kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum dan pemerintah daerah akan terus merosot. Transparansi dan akuntabilitas mutlak dibutuhkan agar semua pihak yang terlibat dapat mempertanggungjawabkan perannya.
Maka, pertanyaan yang kini menggantung di udara tidak hanya mengenai siapa yang bersalah, melainkan juga: siapakah yang bersedia untuk menjadi tumbal dari kegaduhan ini? Apakah panitia pelaksana akan menjadi satu-satunya pihak yang disalahkan? Apakah ada figur lain yang akan dijadikan “kambing hitam” untuk menyelamatkan wajah politik dan jabatan?
Di balik hingar-bingar pesta rakyat, masyarakat Sulawesi Tengah menuntut jawaban. Bukan sekadar pengakuan, tetapi keadilan. Dan keadilan hanya akan terwujud bila kebenaran diungkap secara utuh, bukan dikaburkan oleh kepentingan jangka pendek atau permainan politik birokratis. Sebab dalam negara demokratis yang menjunjung supremasi hukum, publik tidak layak dikorbankan demi kelanggengan kekuasaan segelintir elit.