Di sisi lain ruang, dunia satir Zakimuh bergelora. Jika Agus mengajak kita merenung dalam diam, Zakimuh menohok dengan tawa getir. Melalui gaya visual yang melebih-lebihkan ekspresi dan gestur manusia, ia menyajikan parodi sosial yang menyindir gaya hidup urban: manusia berkepala ponsel, meja makan yang penuh gadget, hingga perempuan yang memerah susu sapi plastik. Dalam satu karya berjudul “Tuhan Datang Lewat Notifikasi”, Zakimuh menampilkan manusia bersujud di hadapan layar besar dengan ikon Wi-Fi sebagai halo di kepalanya.

Kritik-kritik Zakimuh tak berhenti pada teknologi. Ia juga menyinggung kerusakan ekologis sebagai konsekuensi langsung dari kerakusan manusia. Tapi alih-alih menyampaikan dengan amarah, ia memilih tawa sebagai senjata. “Manusia lebih mudah tersadar setelah tertawa, bukan dimarahi,” ujarnya kepada Tempo sambil tersenyum.

Kekuatan pameran ini justru terletak pada tarik-menarik antara dua pendekatan yang kontras: yang satu surealis-spiritual, yang lain satiris-pop. Tapi keduanya menyatu dalam satu napas: keprihatinan atas zaman yang kehilangan kendali. Kurator Heri Kris menggambarkan keduanya sebagai “dua suara dari ruang yang sama — ruang yang dipenuhi polusi, suara mesin, dan kesepian ekologis.”

Pameran ini bukan hanya menawarkan keindahan rupa. Ia menawarkan ruang untuk bertanya. Ruang untuk hening sejenak dan menengok kembali: burung-burung yang telah tiada, hutan yang hanya tersisa dalam kenangan, manusia yang semakin asing dari dunia yang melahirkannya.

Gunadi Karjono menutup pidatonya dengan kalimat yang menggema di benak banyak orang: “Ketika para pelukis menciptakan karya, mereka tidak sedang menggambar semata. Mereka sedang merekam sejarah, menyuarakan kritik sosial, dan membentuk kesadaran yang tak bisa digantikan oleh pidato politik atau undang-undang.”

Dan seni, dalam bentuk paling jujurnya, memang selalu lebih dulu bicara — sebelum bencana benar-benar tiba. *