READNEWS.ID, JAKARTA – Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), adalah salah satu bangunan bersejarah bergaya arsitektur Eropa klasik yang diresmikan sejak 7 Desember 1821 di kawasan Pasar Baru Jakarta Pusat memiliki sejarah panjang.
Gedung yang hingga kini masih berdiri kokoh itu merupakan gagasan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels yang berkuasa pada periode 1808-1811. Namun pembangunannya baru direalisasikan pada masa kekuasaan Gubernur Jenderal Inggris, Sir Thomas Raffless pada 27 Oktober 1814.
Sebelum dinamakan Gedung Kesenian Jakarta, di jaman kolonial Belanda Gedung ini bernama Schouwburg Weltevreden. Gedung yang terdiri dari dua lantai ini selama masa penjajahan Belanda menjadi pusat kegiatan seni dan budaya yang penting di Ibu Kota Hindia Belanda. Berbagai pertunjukan teater, musik, tari, dan acara seni lainnya diselenggarakan di gedung ini.
Gedung yang dibangun dengan biaya sekitar 60.000 gulden tersebut awalnya menggunakan sistem penerangan lampu minyak dan lilin, Namun sejak memasuki tahun 1864 mulai menggunakan lampu gas dan penggunaan lampu listrik baru digunakan pada tahun 1882, itu pun hanya sebatas di bagian dalam gedung, sementara bagian luar tetap menggunakan lampu gas hingga tahun 1910.
Memasuki pada masa penjajahan Jepang (1939-1945), Gedung Kesenian Jakarta sempat dijadikan markas militer oleh Pemerintah Jepang yang kemudian merubah nama gedung tersebut menjadi Sin’tsu Cekizyoo.
Namun sejalan dengan dibentuknya Badan Urusan Kebudayaan (Keinin Bunka Schidoso) pada April 1943, bangunan tersebut kembali digunakan sebagai tempat pertunjukan kesenian.
Setelah Indonesia merdeka, Gedung itu berubah fungsi menjadi ruang kuliah mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.