READNEWS.ID, POSO – Wakil Gubernur Sulawesi Tengah, Ma’mun Amir, di nilai tidak paham soal konflik yang tengah berlangsung di Sulteng, bahwa kemudian sekelas Wakil Gubernur juga harusnya memberikan perhatian dan keprihatinan yang lebih ke rakyat kecil, bukan malah menjadi tameng yang pasang badan buat korporasi yang jelas-jelas melakukan praktik buruk di lapangan
Hal ini di sampaikan sampaikan Front Rakyat Advokasi Sulteng (FRAS) menyikapi pasca pertemuan rapat penyelesaian sengketa lahan antara masyarakat dan PT Agro Nusa Abadi (ANA), pada Kamis 13 Juni 2024 yang di fasilitasi Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah melalui Wakil Gubernur Ma’mun Amir,
Pihak FRAS Sulteng lebih menyayangkan adanya sikap Pemerintah Provinsi yang menilai masyarakat yang memperjuangkan hak hak keperdataannya dinilai sebagai sikap premanisme.
Bahkan yang amat disayangkan adanya penyampaian kepada sejumlah steak holder terkait memiliki kewajiban untuk menjaga serta menciptakan keamanan dan ketertiban.
Pertemuan ini juga ikut dihadiri oleh pimpinan perusahaan PT ANA, Bupati Morowali Utara Dr. Delis Hehi, Dirkrimsus Polda Sulteng, Kasi Ops Kasrem, Pejabat Kanwil ATR/BPN Sulteng dan Ridha Saleh selaku Tenaga Ahli Gubernur Sulteng.
Terkhusus PT ANA sebagaimana press releasenya tertanggal 14 Juni 224, Eva Bande menilai, perusahaan ini jelas-jelas beroperasi secara illegal dalam kurun waktu hampir dua dekade, dan tidak mendapatkan respon secara serius dari Pemerintah provinsi Sulteng, termasuk sejak kepemerintahan Gubernur Rusdi Mastura dan Wagub Ma’mun Amir, tidak ada langkah kongkrit pemberian sanksi tegas terhadap PT ANA yang melakukan praktik illegal, melanggar aturan yang berlaku plus memenjarakan dan mengintimidasi secara terus menerus petani-petani kecil di Morowali utara.
“Sehingga penting Wagub Sulteng ketahui, bahwa Ia telah gagal dalam menjalankan fungsi kepemerintahannya bersama Rusdy Matura.” Terang Eva Bande, sekaligus Kordinator FRAS Sulteng.
Dikatakan Eva, pihaknya mencatat terdapat 5 kabupaten yang intensitas konflik agraria di sektor perkebunan sawit skala besar ini terjadi, yakni, di Kabupaten Morowali Utara, Kabupaten Banggai, Kabupaten Poso, kabupaten Donggala dan kabupaten Buol, yang juga perusahaan-perusahaan besar memicu konflik itu terjadi.
Sebut saja di Morut, kata Eva, terdapat Astra Group, begitupun di Poso dan Donggala. Di kabupaten Banggai terdapat modal besar PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS) juga ada anak perusahaan Central Sulawesi dan Kencana Agri Group yakni PT Sawindo Cemerlang yang sejak dua puluh tahun lalu tiada henti merampas tanah rakyat dan memenjarakan rakyat di Banggai. Ditambah lagi anak perusahaan Murdaya Poo, PT HIP di Buol, sampai saat ini masih berkonflik dengan ratusan petani plasma.
“Ini tentunya harus menjadi evaluasi secara utuh bagi Pemerintah Provinsi Sulteng, dimasa-masa akhir kepemerintahan mereka, kartu merah dari masyarakat sipil akan kinerja Pemprov Sulteng, dalam kinerja 4 tahun terakhir ini menjadi sangat relevan atas amarah rakyat, sebab kepemerintahan saat ini di Sulteng, sangat-sangat tidak berpihak kepada masyarakat kecil. Dari rangkaian pernyataan yang dikeluarkan oleh Gubernur dan Wagub sangat menjelaskan keberpihakan pemerintah, lebih mengarah kepada para pemilik modal bukan menjadi tameng rakyat yang seharusnya.” Pungkas Eva.(SYM)