READNEWS.ID, JAKARTA – Sebanyak 95 anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan suap dalam proses pemilihan Ketua DPD RI 2024-2029 serta Wakil Ketua MPR RI dari unsur DPD RI.
Laporan ini diajukan oleh M. Fitrah Irfan, yang mengaku sebagai mantan staf salah satu anggota DPD RI asal daerah pemilihan Sulawesi Tengah, Rafiq Al-Amri.
Didampingi kuasa hukumnya, Aziz Yanuar, Irfan mendatangi Gedung Merah Putih KPK guna menyerahkan bukti tambahan terkait kasus tersebut. Irfan menyatakan bahwa uang dalam bentuk valuta asing itu kuat dugaan diberikan kepada 95 anggota DPD RI untuk mengamankan suara dalam pemilihan tersebut.
“Setiap anggota DPD RI mendapatkan USD 13 ribu sebagai imbalan suara. Rinciannya, USD 5 ribu untuk pemilihan Ketua DPD RI dan USD 8 ribu untuk Wakil Ketua MPR RI dari unsur DPD RI. Mantan bos saya juga menerima uang tersebut,” ujar Irfan kepada awak media.
Lebih lanjut, Irfan mengungkapkan bahwa transaksi dilakukan secara langsung dari pintu ke pintu di kamar masing-masing anggota DPD RI. Setelah menerima uang, Irfan diperintahkan untuk menyetorkannya ke bank dengan pengawalan ketat guna menghindari operasi tangkap tangan (OTT) di jalan.
“Uang itu saya setorkan ke bank atas perintah mantan bos saya, didampingi satu bodyguard dan satu driver. Hal ini dilakukan agar transaksi berjalan aman,” jelasnya.
Sementara itu, kuasa hukum Irfan, Aziz Yanuar, menegaskan bahwa pihaknya telah menyerahkan bukti tambahan kepada KPK, termasuk rekaman percakapan antara Irfan dan seorang petinggi partai politik yang diduga terlibat dalam transaksi suap ini.
“KPK dalam waktu dekat akan melanjutkan proses penyelidikan dan memanggil pihak-pihak terkait, baik dari anggota DPD maupun pihak lain yang memiliki hubungan dengan laporan ini,” ujar Aziz kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Selasa (18/2/2025).
Hingga berita ini diturunkan, KPK belum memberikan pernyataan resmi terkait tindak lanjut dari laporan tersebut. Namun, dugaan suap ini berpotensi menjadi skandal besar yang mengguncang lembaga DPD RI serta merusak kepercayaan publik terhadap proses demokrasi di Indonesia.