READNEWS.ID. PALU – Menjelang pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Bank Sulteng yang dijadwalkan pada Januari 2025, isu-isu krusial terkait kinerja dan tata kelola bank milik daerah ini kembali mencuat.

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gerakan Berantas Korupsi (GEBRAK) menyoroti sejumlah permasalahan yang dinilai berdampak signifikan terhadap pencapaian Bank Sulteng. Dalam pernyataannya, GEBRAK menegaskan pentingnya reformasi dan evaluasi mendalam terhadap Dewan Komisaris dan Direksi Bank Sulteng agar mencegah terjadinya praktik-praktik yang melanggar hukum.

Sebagai bank daerah yang sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, kabupaten/kota, serta entitas swasta seperti Mega Corp milik Chairul Tanjung, Bank Sulteng memainkan peran strategis dalam mendukung perekonomian daerah. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kinerja keuangan Bank Sulteng menunjukkan dinamika yang patut menjadi perhatian.

Laporan keuangan tahun 2023 yang dirilis oleh Kantor Akuntan Publik Annas Cahyadi memperlihatkan adanya pertumbuhan total aset sebesar 0,9% dengan nilai Rp12,08 triliun, serta peningkatan penyaluran kredit sebesar 12,75%. Namun, di sisi lain, Dana Pihak Ketiga (DPK) mengalami penurunan sebesar 11,31%, dan laba komprehensif juga turun 0,79% jika dibanding tahun sebelumnya. (Laporan keuangan Bank Sulteng dapat dilihat atau di download DISINI

Penurunan laba ini menjadi perhatian utama GEBRAK, terutama jika dikaitkan dengan kondisi ekonomi Sulawesi Tengah yang justru menunjukkan pertumbuhan positif pada tahun 2023, mencapai 11,91%.

Menurut Direktur Eksekutif GEBRAK, M. Rizky Hidayatullah, seharusnya kinerja Bank Sulteng mampu mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di daerah tersebut. Namun kenyataannya, kinerja Bank Sulteng masih jauh dari harapan dan cenderung stagnan, tidak berbeda dengan kinerja Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang lebih kecil.

Sorotan utama GEBRAK juga tertuju pada rencana penambahan modal inti Bank Sulteng melalui skema Kelompok Usaha Bank (KUB) yang melibatkan Mega Corp. Upaya ini dilakukan untuk memenuhi persyaratan modal inti minimum sebesar Rp. 3 triliun sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 20 Tahun 2020. Namun, diduga hingga akhir 2024, target tersebut belum tercapai.

Keterlibatan Mega Corp dalam Bank Sulteng juga menimbulkan kekhawatiran terkait potensi dominasi konglomerasi yang dapat mengurangi independensi bank sebagai entitas yang seharusnya berpihak pada kepentingan masyarakat Sulteng.

Bank Sulteng diharapkan mampu menjalankan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) yang meliputi transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, independensi, dan kewajaran.

Rizky menegaskan bahwa penerapan GCG yang baik merupakan kunci keberhasilan Bank Sulteng dalam menghadapi tantangan bisnis perbankan yang semakin kompleks. Dalam hal ini, Dewan Komisaris dan Direksi Bank Sulteng harus mampu menunjukkan hasil kinerja yang dapat dipertanggungjawabkan kepada para pemegang saham, terutama pada RUPS awal tahun 2025.

Sebagai pemegang saham mayoritas dengan kepemilikan sebesar 32,42%, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah memiliki peran krusial dalam memastikan bahwa Bank Sulteng dikelola secara profesional dan berorientasi pada kepentingan masyarakat.

Ramadhan 2025