READNEWS.ID, PALU – Usai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora untuk sebagian terkait ambang batas pencalonan kepala daerah rupanya membuat peta politik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Sulawesi Tengah (Sulteng) bergolak.
Bagaimana tidak, pasangan calon yang tadinya terkendala oleh ambang batas kini otomatis berpeluang melenggang mulus usai penetapan putusan MK tersebut.
Misalnya pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Sulteng yang seharusnya head to head, kini berpeluang tiga bahkan 4 pasang calon.
Hal ini mendapat beragam tanggapan dan luapan suka cita bagi pendukung pasangan calon (paslon) yang diuntungkan dengan adanya putusan MK 60.
Olehnya, pasangan incumben Rusdy Mastura dan Mayjend (Purn) Sulaeman Agusto Hambuako hampir dipastikan ikut konstestasi Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur 2024 menyusul pasangan Ahmad Ali – Abdul Karim Aljufri dan Anwar Hafid – Renny Lamadjido.
Sementara itu, peluang hadirnya paslon ke empat dimungkinkan jika Partai Golkar yang mengantongi 8 kursi di DPRD Provinsi Sulteng berhasrat mengusulkan paslon nya sendiri. Bermodalkan 330.971 suara golkar telah memenuhi ambang batas 8,5% sesuai yang ditetapkan oleh putusan MK 60.
Santer kembali mencuat nama yang digadang-gadang jika Partai berlambang pohon beringin tersebut memutuskan mengusung calonnya sendiri akan merujuk pada usulan DPD Partai Golkar Sulteng yakni Moh. Hidayat Lamakarate sebagai jagoannya.
Ketua MK Suhartoyo yang membacakan Amar Putusan tersebut menyampaikan Mahkamah mengabulkan permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora untuk sebagian. Mahkamah menyatakan Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan untuk mengusulkan calon gubernur dan calon wakil gubernur:
Untuk mengusulkan calon bupati dan calon wakil bupati serta calon walikota dan calon wakil walikota:
“Menyatakan Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Suhartoyo.
Sementara, dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Mahkamah mempertimbangkan bahwa norma Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada merupakan norma yang menjabarkan lebih lanjut ketentuan Pasal 39 huruf a UU 8/2015 yang menyatakan, “Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota yang diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik”. Dalam konteks ini, norma Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada dapat dikatakan sebagai desain pengaturan ambang batas (threshold) untuk dapat mengusulkan pasangan calon kepala daerah oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dengan model alternatif. Pertama, apakah dapat memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPRD. Atau, kedua, apakah dapat memenuhi 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
“Kedua pilihan threshold pencalonan kepala daerah tersebut ditentukan oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk menentukan pilihan mana yang dapat dipenuhi,” ujar Enny.
Berkenaan dengan alternatif pertama, Enny melanjutkan, ditentukan lebih lanjut persyaratannya dalam Pasal 40 ayat (2) UU Pilkada yang pada pokoknya hanya untuk memberikan kepastian terkait dengan cara penghitungan pecahan persentase dari jumlah kursi DPRD paling sedikit 20%. Apabila ternyata hasil bagi jumlah kursi DPRD tersebut menghasilkan angka pecahan, maka untuk kepastian perolehan jumlah kursi dihitung dengan pembulatan ke atas.
Sementara itu, lanjut Enny, terhadap norma Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada juga menjelaskan lebih lanjut alternatif pencalonan kepala daerah apabila akan digunakan 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan, namun tidak menegaskan apabila ternyata hasil bagi suara sah tersebut menghasilkan angka pecahan sebagaimana pola yang ditentukan dalam Pasal 40 ayat (2) UU Pilkada. Dalam kaitan ini, norma Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 justru memberikan ketentuan tambahan yaitu, akumulasi perolehan suara sah tersebut “hanya berlaku untuk partai politik yang memperoleh kursi di DPRD” sebagaimana dipersoalkan konstitusionalitasnya oleh para Pemohon karena tidak sejalan dengan maksud kepala daerah dipilih secara demokratis sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.
“Artinya, baik menggunakan alternatif pertama atau kedua dipersyaratkan oleh Pasal 40 ayat (1) dan ayat (3) UU 10/2016 harus sama-sama mempunyai kursi di DPRD. Ketentuan ini merugikan hak partai politik yang telah ditetapkan secara resmi sebagai peserta pemilu serentak nasional 2024 yang telah memiliki suara sah, namun tidak memiliki kursi di DPRD, karena tidak dapat mengusulkan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah,” pungkas Enny.
Baca berita lainnya terkait putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 : Disini