READNEWS.ID. OPINI – Sulawesi Tengah saat ini tidak lagi bisa dipandang sebelah mata dalam peta ekonomi nasional, bahkan global. Provinsi ini telah menunjukkan taringnya sebagai salah satu simpul penting dalam rantai pasok dunia, terutama lewat kawasan industri Morowali yang kini menjadi episentrum produksi nikel dan bahan baku baterai kendaraan listrik. Namun potensi Sulawesi Tengah tak berhenti di situ. Dengan garis pantai yang luas, kekayaan laut yang melimpah, serta komoditas unggulan seperti kelapa, daerah ini sesungguhnya menyimpan modal strategis untuk menjadi tulang punggung baru dalam jaringan logistik dan industri global.
Kawasan Industri Morowali (IMIP) menjadi representasi konkret bagaimana sebuah daerah di luar Jawa mampu menarik investasi triliunan rupiah, menyerap ribuan tenaga kerja, dan menjadikan nikel Indonesia sebagai pemain kunci dalam transisi energi dunia.
Pasar kendaraan listrik global yang terus berkembang membutuhkan pasokan nikel dalam jumlah besar, dan Sulawesi Tengah menjadi jawabannya. Tak hanya sebagai penyedia bahan mentah, IMIP mulai menunjukkan kemajuan dalam pengolahan dan hilirisasi, sebuah langkah penting agar Indonesia tak hanya jadi penonton dalam ekonomi global.
Selain tambang dan logam, potensi perikanan Sulawesi Tengah sangat besar, dengan zona laut yang luas, perairan yang subur, dan keragaman hayati laut yang tinggi. Perikanan tangkap dan budidaya dapat menjadi pilar ekspor baru jika dikelola dengan sistem logistik dingin (cold storage) yang terintegrasi dan berbasis teknologi. Di sisi lain, kelapa juga menyimpan potensi ekonomi yang belum sepenuhnya tergarap maksimal. Indonesia adalah produsen kelapa terbesar dunia, dan Sulawesi Tengah termasuk sentra penting yang mampu menyuplai kebutuhan kelapa dunia jika ditopang dengan pengolahan industri yang lebih modern dan berorientasi ekspor. Bahkan lambang Sulawesi Tengah memiliki makna filosofi yang berakar dari pohon kelapa.
Jika semua potensi ini dikelola dengan visi yang kuat, hasilnya akan berdampak luar biasa terhadap ekonomi lokal. Pertumbuhan ekonomi akan terdorong bukan hanya dari sisi investasi, tetapi juga dari peningkatan daya beli masyarakat, berkembangnya UMKM penunjang industri, serta naiknya nilai tambah produk lokal. Lapangan kerja akan tercipta secara masif, baik di sektor formal maupun informal, dan daerah-daerah pinggiran akan mulai merasakan denyut pembangunan.
Namun fakta di lapangan belum seindah harapan. Ketimpangan masih terjadi di mana-mana. Kota-kota industri tumbuh cepat, tapi desa-desa di sekitarnya masih tertinggal. Perputaran uang tinggi, tetapi belum merata menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Salah satu penyebab utamanya adalah tantangan sumber daya manusia. Masih banyak anak muda yang tidak memiliki keterampilan sesuai kebutuhan industri modern. Ketidaksiapan tenaga kerja lokal justru membuka peluang bagi migrasi tenaga kerja dari luar daerah, sehingga manfaat ekonomi tidak maksimal dinikmati oleh masyarakat setempat.
Masalah lainnya adalah keberpihakan kebijakan pusat terhadap pembangunan Sulawesi Tengah. Jika memang ada niat serius menjadikan Indonesia sebagai negara industri berbasis sumber daya, maka sudah saatnya pemerintah pusat memperlakukan provinsi seperti Sulawesi Tengah sebagai kawasan strategis nasional. Ini bukan hanya soal regulasi dan perizinan, tapi soal investasi dalam pendidikan vokasi, infrastruktur konektivitas, dan keberpihakan fiskal untuk mendorong hilirisasi industri daerah.
Data BPS menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah pada tahun 2023 mencapai 11,91%, tertinggi di Indonesia, tahun 2024 mencapai 9,89%. Namun, data ketimpangan (gini ratio) masih berada di angka 0,309 (BPS, 2024), menunjukkan kesenjangan distribusi pendapatan yang cukup tinggi. Pertumbuhan tinggi belum sepenuhnya inklusif. Oleh karena itu, arah pembangunan ke depan harus mengusung prinsip pertumbuhan yang berkualitas, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Data lain yang menguatkan ketimpangan ini adalah angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Sulawesi Tengah pada tahun 2023 mencatat IPM sebesar 71,66 sementara tahun 2024 tercatat 72,24 masih tertinggal dibandingkan IPM nasional yang telah mencapai 75,02 di tahun 2024. Artinya, meski angka PDRB melonjak karena investasi tambang dan industri besar, kualitas hidup warga dalam aspek pendidikan, kesehatan, dan daya beli belum mengalami percepatan yang sepadan. Ironisnya, beberapa kabupaten dengan PDRB tinggi justru masih mengalami ketimpangan infrastruktur dasar dan akses layanan publik.