Ia mulai memetik daun kelor satu per satu, tersenyum melihat ibu dan adiknya sibuk di dapur. Mereka bertiga duduk di meja yang sama, berbincang-bincang tentang rencana Adhi hari ini.
“Hari ini aku mau ke kantor notaris buat akta perusahaan, Bu,” kata Adhi.
“Akta perusahaan? Kamu yakin mau menekuni bisnis itu?” tanya ibu.
“Iya, Bu. Aku yakin,” jawab Adhi mantap.
“Lalu modalnya dari mana? Kan itu butuh modal tidak sedikit. Ibu nggak punya uang sebanyak itu,” balas ibu.
“Tenang, Bu. Dulunya juga saya cuma bermodal uang dua puluh lima ribu buat event besar,” kata Adhi.
“Hah, duit segitu masa iya cukup?” tanya ibu heran.
“Tergantung cara kita mendapatkan sponsor, Bu. Makanya saya hanya butuh badan hukum dan proposal kegiatan saja. Nanti saya akan cari sponsor sendiri,” jawab Adhi.
Ibu mengangguk. Ia percaya anaknya bisa melakukannya. Makanan pun sudah matang. Mereka menyantap hidangan sarapan dengan lahap.
“Wah, masakan Ibu memang nggak ada lawan!” puji Adhi.
“Kalau gitu, sering-sering pulang biar bisa makan masakan Ibu,” jawab ibu sambil tertawa.
Setelah sarapan, Adhi bersiap untuk pergi ke kantor notaris.
“Bu, aku pinjam motor ya buat ke kantor Pak Charles?” tanya Adhi.
“Boleh, tapi hati-hati di jalan,” pesan ibu.
Di kantor notaris, Adhi ditemui oleh sekretaris Pak Charles.
“Selamat pagi, Mas. Ada yang bisa saya bantu?” tanya sekretaris.
“Saya ingin bertemu dengan Pak Charles. Saya ingin membuat akta perusahaan,” jawab Adhi.
“Baik, silakan tunggu sebentar ya, saya informasikan ke Pak Charles,” ujar sekretaris.
Tak lama, Adhi dipersilakan masuk. Pak Charles menyambutnya dengan hangat.
“Mas Adhi! Lama tak jumpa. Bagaimana kabarnya?” sapa Pak Charles.
“Alhamdulillah baik, Pak. Saya ingin membuat badan hukum untuk usaha saya,” jelas Adhi.
Mereka berbincang sambil memeriksa berkas. Pak Charles memastikan semua dokumen lengkap.
“Baik, Mas Adhi. Akta perusahaan ini akan selesai dalam satu minggu,” kata Pak Charles.
“Terima kasih banyak, Pak. Saya tunggu kabarnya.”
Setelah berpamitan, Adhi kembali pulang. Sesampainya di rumah, ia bercerita kepada ibunya tentang pertemuan dengan Pak Charles.
“Oh, Charles masih seperti dulu ya? Dulu ibu sering bekerja sama dengannya waktu mengurus pertanahan,” kenang ibu.
Mereka duduk di sofa, menikmati camilan dan kopi panas. Adhi kemudian menanyakan tentang rumah yang mereka tempati.
Ibu pun bercerita bahwa rumah ini dibeli dari hasil memasang kupon putih. Mendengar itu, Adhi tertawa kecil.
“Jadi ibu dapat nomor dari tamu gaib?” tanya Adhi.
“Iya, nak. Begitulah kisahnya,” jawab ibu.
Adhi merasa haru mendengar perjuangan ibunya. Dalam hati, ia berjanji akan membahagiakan ibunya.
Setelah berbincang cukup lama, Adhi berpamitan untuk beristirahat. Hari ini adalah awal dari perjalanan barunya di kota Palu.
(bersambung)