written by M. Rizky Hidayatullah

Bab 1.1
Pagi Yang Cerah

Teng..teng..teng.. “Sayur… Sayur…” teriak Mas Bedjo, penjual sayur langganan ibu Adhi, dari depan pagar rumah.

“Ada paria, kangkung, bayam, tahu… Segar-segar loh ini, Mama Adhi,” kata Mas Bedjo.

Dari balik pintu, Adhi yang sudah bangun sejak pagi keluar menghampiri Mas Bedjo.

“Mas Bedjo kan ini?” tanya Adhi.

“Loh, njenengan siapa toh, Mas?” tanya Mas Bedjo balik.

“Udah lupa ya, Sampeyan?” timpal Adhi.

Mas Bedjo mengernyitkan dahi sambil menggaruk-garuk kepalanya, kebingungan.

“Sopo toh yo? Aku lupa e,” gumam Mas Bedjo.

“Ini aku, Mas, Adhi, anaknya Mbak Em,” celetuk Adhi sambil tersenyum.

“Lah, Mas Adhi yang di Kalimantan toh?” tanya Bedjo memastikan.

“Iya lah, emang Adhi anaknya Mbak Em ada berapa toh?” jawab Adhi.

“Haa ya ampun, aku pangling e, Mas. Soalnya aku lama nggak ketemu. Dulu masih kecil sekarang sudah jenggotan,” guyon Bedjo sambil cekikikan.

Adhi ikut tertawa melihat tingkah Mas Bedjo yang masih sama seperti dulu. Saat kecil, Adhi sering dibawakan kerupuk pasir oleh Mas Bedjo. Kini, dagangan Mas Bedjo tampak tidak banyak berubah, hanya saja dulu ia menggunakan sepeda ontel, sekarang sudah memakai motor sport 250 cc.

“Eah… Hebat Mas Bedjo sekarang gaul, jualannya pakai motor Kawasaki Ninja,” canda Adhi.

“Sekarang kalau nggak ikut trend kekinian bakal ketinggalan, Mas. Sekarang kan zamannya bad Gen Ji,” kata Mas Bedjo bangga.

“Gen Z, Mas, bukan Gen Ji,” balas Adhi.

“Iya toh? Maklum, Mas Adhi, aku ini orang ndeso. Kalau salah ucap ya dimaklumi,” jawab Mas Bedjo malu-malu.

Di tengah percakapan, ibu Adhi keluar dari rumah.

“Mas Bedjo, ada sayur kelor, nggak?” tanya ibu Adhi.

“Wah, ada, Mbak. Segar-segar ini, baru datang dari kebun,” jawab Mas Bedjo sambil mengeluarkan sayur kelor dari keranjang motornya.

“Kalau ikan asin ada?” tanya ibu lagi.

“Ada juga, Mbak. Pas banget tadi saya bawa lebih,” kata Mas Bedjo.

Ibu Adhi tersenyum. “Hari ini ibu masakin kamu sayur kelor dan ikan asin kesukaanmu, Di.”

Mata Adhi berbinar. “Wah, mantap, Bu! Udah lama banget nggak makan sayur kelor buatan Ibu.”

Setelah memilih beberapa sayur dan bahan lainnya, ibu Adhi kembali masuk rumah. Tak lupa ia berpesan kepada Mas Bedjo.

“Besok datang lagi ya, aku mau masak rendang. Bawakan bumbunya.”

“Oke, Mbak, besok saya bawakan. Sampai ketemu besok ya, Mas Adhi,” jawab Mas Bedjo.

“Hati-hati di jalan, Mas,” ujar Adhi sambil melambaikan tangan.

Mas Bedjo pun menaiki motornya dan berlalu sambil kembali berteriak, “Sayur… Sayur… Bu Ibu… Sayur…”

Bab 2: Keputusan Baru

Di dapur, Nitha sedang memanaskan air panas untuk membuat kopi kakaknya.

Adhi duduk di meja makan sambil memperhatikan ibunya yang sedang mempersiapkan makanan.

“Bu, sini Adhi bantu,” ucap Adhi.

“Sudah, nggak usah. Kamu duduk saja di situ, biar ibu dan Nitha saja yang masak,” jawab ibu.

“Gak apa-apa kok,” Adhi pun berdiri dan mengambil nampan berisi sayur kelor yang baru dibeli.

Ia mulai memetik daun kelor satu per satu, tersenyum melihat ibu dan adiknya sibuk di dapur. Mereka bertiga duduk di meja yang sama, berbincang-bincang tentang rencana Adhi hari ini.

“Hari ini aku mau ke kantor notaris buat akta perusahaan, Bu,” kata Adhi.

“Akta perusahaan? Kamu yakin mau menekuni bisnis itu?” tanya ibu.

“Iya, Bu. Aku yakin,” jawab Adhi mantap.

“Lalu modalnya dari mana? Kan itu butuh modal tidak sedikit. Ibu nggak punya uang sebanyak itu,” balas ibu.

“Tenang, Bu. Dulunya juga saya cuma bermodal uang dua puluh lima ribu buat event besar,” kata Adhi.

“Hah, duit segitu masa iya cukup?” tanya ibu heran.

“Tergantung cara kita mendapatkan sponsor, Bu. Makanya saya hanya butuh badan hukum dan proposal kegiatan saja. Nanti saya akan cari sponsor sendiri,” jawab Adhi.

Ibu mengangguk. Ia percaya anaknya bisa melakukannya. Makanan pun sudah matang. Mereka menyantap hidangan sarapan dengan lahap.

“Wah, masakan Ibu memang nggak ada lawan!” puji Adhi.

“Kalau gitu, sering-sering pulang biar bisa makan masakan Ibu,” jawab ibu sambil tertawa.

Setelah sarapan, Adhi bersiap untuk pergi ke kantor notaris.

“Bu, aku pinjam motor ya buat ke kantor Pak Charles?” tanya Adhi.

“Boleh, tapi hati-hati di jalan,” pesan ibu.

Di kantor notaris, Adhi ditemui oleh sekretaris Pak Charles.

“Selamat pagi, Mas. Ada yang bisa saya bantu?” tanya sekretaris.

“Saya ingin bertemu dengan Pak Charles. Saya ingin membuat akta perusahaan,” jawab Adhi.

“Baik, silakan tunggu sebentar ya, saya informasikan ke Pak Charles,” ujar sekretaris.

Tak lama, Adhi dipersilakan masuk. Pak Charles menyambutnya dengan hangat.

“Mas Adhi! Lama tak jumpa. Bagaimana kabarnya?” sapa Pak Charles.

“Alhamdulillah baik, Pak. Saya ingin membuat badan hukum untuk usaha saya,” jelas Adhi.

Mereka berbincang sambil memeriksa berkas. Pak Charles memastikan semua dokumen lengkap.

“Baik, Mas Adhi. Akta perusahaan ini akan selesai dalam satu minggu,” kata Pak Charles.

“Terima kasih banyak, Pak. Saya tunggu kabarnya.”

Setelah berpamitan, Adhi kembali pulang. Sesampainya di rumah, ia bercerita kepada ibunya tentang pertemuan dengan Pak Charles.

“Oh, Charles masih seperti dulu ya? Dulu ibu sering bekerja sama dengannya waktu mengurus pertanahan,” kenang ibu.

Mereka duduk di sofa, menikmati camilan dan kopi panas. Adhi kemudian menanyakan tentang rumah yang mereka tempati.

Ibu pun bercerita bahwa rumah ini dibeli dari hasil memasang kupon putih. Mendengar itu, Adhi tertawa kecil.

“Jadi ibu dapat nomor dari tamu gaib?” tanya Adhi.

“Iya, nak. Begitulah kisahnya,” jawab ibu.

Adhi merasa haru mendengar perjuangan ibunya. Dalam hati, ia berjanji akan membahagiakan ibunya.

Setelah berbincang cukup lama, Adhi berpamitan untuk beristirahat. Hari ini adalah awal dari perjalanan barunya di kota Palu.

 

(bersambung)

Ramadhan 2025