Dari kejadian itu, akhirnya PT. NGL telah melakukan kesepakatan dalam bentuk kemitraan dengan skema bagi hasil 70/30, yang mana 70% hasil akan menjadi bagian terdakwa sebagai pemilik lahan.
Setelah itu, lahirlah kesempatan yang dibuat dalam surat penyerahan tanah untuk kemitraan tanggal 10 November 2016 dan ditandatangani oleh terdakwa selaku pemilik lahan,l serta perwakilan PT. NGL dan Kepala Desa Peleru.
Setelah tanaman kelapa sawit sudah mulai panen di lahan aquo, ironisnya PT. NGL tidak memenuhi kewajibannya untuk bagi hasil kepada terdakwa Jemi Mama selaku kemitraan.
“Di tahun 2020 PT. NGL hanya membayar kepada terdakwa sebesar Rp. 436.000, dan pembayaran tahun 2021 sebesar Rp. 640.000 hanya untuk luas lahan 1 Ha saja,” jelasnya.
Tahun 2022 perusahaan tidak mendapati kesepakatan serta tidak malaksanakan pembayaran dengan alasan dari PT. NGL untuk menunggu Surat Keputusan (SK) Bupati yang baru.
Hingga tahun 2023 melalui mediasi Kepala Desa Peleru terpilih, Amran Amrullah, terdakwa mendapatkan pembayaran sebesar Rp 2.070.000, untuk 1 Ha. Serta tahun 2025 terdakwa mendapatkan pembayaran Rp2.650.000 untuk 1 Ha.
“Bahwa terdakwa Jemi Mama sejak tahun 2021 hingga 2025 melakukan usaha dan upaya mediasi untuk mendapatkan haknya yang masih tersisa pembayaran 18 Hektar tanah dari kemitraan, yang belum di bayar oleh PT. NGL namun gagal dan tidak diindahkan oleh perusahan,” tegas Yusril.
Maka atas dasar hal tersebut, terdakwa Jemi Mama melakukan kegiatan memanen sendiri kelapa sawit yang ada diatas lahannya, sehingga dilaporkan oleh PT. NGL kepada Kepolisian Resort Morowali Utara Jemi Mama lalu ditahan polisi Mei 2025, kemudian didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
“4,8 ton buah sawit yang sudah dipanen. Terdakwa Jemi Mama dilaporkan dituduh mencuri di lokasi tanah miliknya,” ujarnya.
Kuasa Hukum terdakwa lainnya, Hidayat Hasan menyebut, tanah warga yang belum selesai haknya perusahan tidak boleh menerbitkan Hak Guna Usaha (HGU).
“Tanah plasma yang belum selesai haknya dengan masyarakat tapi perusahan sudah menerbitkan HGU nya. Kami kuasa hukum sudah berkordinasi dengan Badan Pertanahan, tidak bisa perusahaan menerbitkan HGU jika hak masyarakat belum selesai. Masalah ini harusnya diselesaikan diranah perdata bukan ke ranah pidana,” pungkasnya. (SYM)