Untuk keluar dari jebakan polarisasi ini, dibutuhkan pendekatan yang holistik: menggabungkan kekuatan narasi ideologis (yang menyentuh nilai) dengan efektivitas solusi pasar (yang menyentuh kebutuhan riil). Kampanye politik masa depan harus mampu menjawab pertanyaan besar masyarakat: Apa solusi Anda terhadap pengangguran? Bagaimana pendidikan anak saya akan lebih baik? Bagaimana suara perempuan dihargai?

Strategi kampanye yang berhasil ke depan bukan yang paling keras berteriak, tapi yang paling mampu mendengar. Mendengar keresahan ibu rumah tangga tentang harga beras. Mendengar kecemasan pemuda tentang masa depan kerja. Mendengar suara minoritas tentang kesetaraan. Inilah kekuatan baru dalam peta elektoral: resonansi isu, bukan sekadar euforia simbol.

Jika politik ingin tetap relevan, maka ia harus melampaui polarisasi. Marketing politik harus kembali ke akarnya: memahami kebutuhan rakyat, bukan sekadar memenangkan suara mereka. Inilah arah baru yang harus dijalani oleh setiap kandidat dan tim sukses di era demokrasi digital dan ekonomi emosi seperti saat ini.

Bagi para kandidat, kebijaksanaan pertama yang harus diambil adalah mengakui keberagaman aspirasi dan menghindari jebakan dikotomi ideologis. Kampanye yang terlalu membelah publik hanya akan menghasilkan ketidakpercayaan dan delegitimasi pasca-kemenangan. Sebaliknya, pendekatan inklusif dengan narasi yang mempersatukan dapat memperluas dukungan sekaligus memperkuat legitimasi sosial.

Kedua, partai politik harus membekali para calon dengan pemahaman lintas isu dan kemampuan menjawab tantangan nyata masyarakat, bukan hanya melatih kemampuan orasi atau strategi serangan. Kandidat yang bijak adalah mereka yang mampu menjembatani nilai dengan program, ideologi dengan pelayanan, serta simbol dengan aksi.

Ketiga, kebijakan jangka panjang dari partai politik perlu diarahkan pada konsolidasi nilai demokrasi yang sehat: mendukung kebijakan afirmatif, keterwakilan perempuan, pendidikan politik masyarakat, dan distribusi isu berbasis data. Dengan begitu, partai tak hanya menjadi kendaraan elektoral, tetapi juga wadah pembelajaran politik bagi bangsa.

Penulis : Dr. Ir. Ihksan Syarifuddin, ST., M.M
Praktisi dan Konsultan Marketing Politik, Direktur Transdata Sulawesi Gemilang