Sementara itu pengakuan Dewan Pers bahwa pihaknya telah berupaya mencegah kriminalisasi jurnalis. Dengan membuka ruang yang seluas-luasnya bagi siapa saja yang merasa terciderai oleh produk jurnalistik.
Seperti halnya yang dikatakan oleh Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, Agung Dharmajaya. Jika sengketa jurnalistik yang dilaporkan ke Dewan Pers selalu direspons dengan menerbitkan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR).
“Rekomendasi Dewan Pers nanti disampaikan ke penyidik dan telaahnya disampaikan ke pelapor. Mestinya proses hukum tidak diperlukan (setelah proses tersebut).” ujarnya
Pengabaian rekomendasi Dewan Pers tersebut menjadi salah satu penyebab kasus kriminalisasi yang menimpa jurnalis berujung pada proses pidana. Minimnya pemahaman aparat penegak hukum tentang UU Pers dan fungsi Dewan Pers menjadi masalah serius yang harus dicari jalan tengahnya,
Upaya serius Dewan Pers agar menghindarkan jurnalis pada upaya kriminalisasi dapat kita lihat dari beberapa kesepakatan yang dicapai antara Dewan Pers dengan Lembaga Penegakan Hukum.
Misalnya Nota Kesepahaman Dewan Pers dengan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) yang tertuang pada MoU Nomor: 03/DP/MoU/III/2022 dan Nomor NK/4/III/2022 tentang Koordinasi Dalam Perlindungan PERS dan Penegakan Hukum Terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan.
Berkas MoU bisa didownload disini
Insan Jurnalisme tanah air kerap mengeluhkan diabaikannya Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dan Polri Nomor 2/DP/15/II/2017 tentang Koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers.
Nota kesepahaman itu seringkali dilangkahi oleh aparat kepolisian. Ini sungguh disesalkan kalangan jurnalis. Dengan demikian melanggar MoU dan sudah melangkahi kewenangan Dewan Pers menjadi tanda tanya besar apa motif dibalik itu semua.
Selain ancaman kriminalisasi terhadap jurnalis, pers di Indonesia juga dihadapkan pada maraknya pelanggaran etik wartawan serta kesejahteraan yang masih sering diabaikan. Jika dibiarkan, segudang masalah itu akan terus menggerogoti peran pers sebagai pilar keempat demokrasi. (mrh)
#savepersindonesia
READNEWS.ID, EDITORIAL – Kebebasan pers menjadi isu yang terus diperbincangkan di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Di tengah era demokrasi, kebebasan pers dianggap sebagai pilar penting dalam menjaga keberagaman informasi dan kontrol terhadap kebijakan pemerintah. Namun, sejumlah negara masih menerapkan hukum yang membatasi kebebasan pers dan bahkan mengkriminalisasi pers dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.
Di era Orde Baru di Indonesia, pers mengalami pembatasan yang signifikan. Izin terbit yang sulit diperoleh, sensor pemerintah, dan ancaman hukuman pidana terhadap karya jurnalistik menjadi hambatan bagi kebebasan pers. Namun, seiring berjalannya waktu, Indonesia mengalami reformasi politik yang membawa perubahan dalam perlindungan kebebasan pers.
Beberapa tokoh dalam dunia jurnalistik juga telah mengeluarkan deklarasi penolakan terhadap kriminalisasi pers, seperti Tjipta Lesmana, anggota senior Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), yang melakukan deklarasi tersebut dalam Kongres PWI tahun 2003.
Putusan Mahkamah Agung pada tahun 2006 yang dikeluarkan oleh Bagir Manan, Harifin A Tumpa, dan Djoko Sarwoko menekankan perlunya improvisasi dalam penegakan hukum untuk melindungi kebebasan pers secara adil.
“Di Indonesia, UU Pers No. 40 Tahun 1999 menjadi landasan hukum yang mengatur kebebasan pers. UU tersebut tidak mengkriminalisasi pers dalam menjalankan tugas jurnalistik dan mengatur penyelesaian kesalahan karya jurnalistik dengan hak jawab.“
Rentannya jurnalis dikriminalisasi menjadi preseden buruk bagi demokrasi. Di Sulawesi Tengah terdapat beberapa jurnalis yang sempat mengalami aduan hukum akibat pemberitaannya. Termasuk yang baru-baru ini laporan Bupati Donggala Kasman Lassa, SH.,MH kepada jurnalis bernama Ahmad Muhsin terkait unggahannya di media sosial yang memuat isi berita keterlibatan Bupati Donggala tersebut pada kasus dugaan Korupsi Proyek Teknologi Tepat Guna (TTG) yang tengah diproses oleh penyidik Polda Sulteng.
Sementara itu pengakuan Dewan Pers bahwa pihaknya telah berupaya mencegah kriminalisasi jurnalis. Dengan membuka ruang yang seluas-luasnya bagi siapa saja yang merasa terciderai oleh produk jurnalistik.
Seperti halnya yang dikatakan oleh Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, Agung Dharmajaya. Jika sengketa jurnalistik yang dilaporkan ke Dewan Pers selalu direspons dengan menerbitkan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR).
“Rekomendasi Dewan Pers nanti disampaikan ke penyidik dan telaahnya disampaikan ke pelapor. Mestinya proses hukum tidak diperlukan (setelah proses tersebut).” ujarnya
Pengabaian rekomendasi Dewan Pers tersebut menjadi salah satu penyebab kasus kriminalisasi yang menimpa jurnalis berujung pada proses pidana. Minimnya pemahaman aparat penegak hukum tentang UU Pers dan fungsi Dewan Pers menjadi masalah serius yang harus dicari jalan tengahnya,
Upaya serius Dewan Pers agar menghindarkan jurnalis pada upaya kriminalisasi dapat kita lihat dari beberapa kesepakatan yang dicapai antara Dewan Pers dengan Lembaga Penegakan Hukum.
Misalnya Nota Kesepahaman Dewan Pers dengan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) yang tertuang pada MoU Nomor: 03/DP/MoU/III/2022 dan Nomor NK/4/III/2022 tentang Koordinasi Dalam Perlindungan PERS dan Penegakan Hukum Terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan.
Berkas MoU bisa didownload disini
Insan Jurnalisme tanah air kerap mengeluhkan diabaikannya Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dan Polri Nomor 2/DP/15/II/2017 tentang Koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers.
Nota kesepahaman itu seringkali dilangkahi oleh aparat kepolisian. Ini sungguh disesalkan kalangan jurnalis. Dengan demikian melanggar MoU dan sudah melangkahi kewenangan Dewan Pers menjadi tanda tanya besar apa motif dibalik itu semua.
Selain ancaman kriminalisasi terhadap jurnalis, pers di Indonesia juga dihadapkan pada maraknya pelanggaran etik wartawan serta kesejahteraan yang masih sering diabaikan. Jika dibiarkan, segudang masalah itu akan terus menggerogoti peran pers sebagai pilar keempat demokrasi. (mrh)
#savepersindonesia