READNEWS.ID, OPINI – Dalam dinamika politik elektoral Sulawesi Tengah, muncul satu pertanyaan penting yang layak dikaji secara kritis: masih relevankah politik berbasis wilayah dominan atau hegemoni elitis? Lebih spesifik, benarkah bahwa hanya putra daerah dari Lembah Palu (blok barat) yang pantas dan “berhak” menjadi pemimpin di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota?.

Realitas politik daerah selama dua dekade terakhir menunjukkan dominasi yang relatif stabil dari figur-figur yang berasal dari kawasan Lembah Palu—baik dari segi pengaruh politik, logistik, maupun akses ke partai dan media. Dalam narasi publik, sering kali muncul dikotomi antara “blok barat” (Lembah Palu dan sekitarnya) dan “blok timur” (Tojo Una-Una, Banggai, Morowali, dll) yang kerap dianggap sebagai penonton atau pelengkap dalam peta kekuasaan.

Situasi ini melahirkan semacam politik kewilayahan elitis—sebuah kondisi di mana akses terhadap pencalonan, sumber daya kampanye, dan legitimasi politik cenderung terkonsentrasi pada elite tertentu di wilayah dominan. Jika dalam studi gender kita mengenal istilah “patriarki” sebagai dominasi kekuasaan laki-laki, maka dalam konteks Sulteng kita bisa menyebutnya sebagai “hegemoni geopolitik lokal” atau “politik warisan wilayah”.

Padahal secara konstitusional dan normatif, kepemimpinan politik mestinya terbuka dan meritokratis—siapapun yang memiliki kapasitas, basis sosial, dan visi strategis harusnya punya peluang yang sama. Sayangnya, struktur informal yang dibentuk oleh jaringan sosial-politik dari wilayah dominan masih sangat kuat dalam menentukan siapa yang “layak” maju.

Dari perspektif marketing politik modern, situasi ini bisa menjadi peluang sekaligus tantangan. Kandidat dari luar “pusat hegemoni” (blok timur, atau non-Lembah Palu) perlu membangun positioning yang kuat: sebagai representasi perubahan, keterwakilan daerah, dan sebagai figur yang memahami aspirasi pinggiran yang selama ini terabaikan. Di sinilah strategi politik diferensiasi menjadi sangat penting.

Branding politik berbasis wilayah bukanlah hal yang tabu, selama dikemas dengan narasi inklusif dan tidak antagonistik. Misalnya, daripada menggunakan sentimen “anti-Palu”, kandidat dari blok timur bisa membangun kampanye dengan semangat “Sulawesi Tengah Harmoni: Menjalin Kepemimpinan dari Laut ke Lembah” atau “Kepemimpinan Integratif untuk Sulawesi Tengah yang Mewakili Semua Wilayah”. Ini merupakan bentuk reposisi narasi wilayah menjadi narasi keterwakilan kolektif.