READNEWS.ID, JAKARTA – Kebijakan efisiensi anggaran yang dijalankan Presiden Prabowo Subianto dinilai berisiko mengurangi penerimaan pajak, terutama Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Badan pada 2025.
Pemangkasan anggaran untuk perjalanan dinas, kegiatan seremonial, serta pengurangan tenaga honorer diperkirakan memengaruhi daya beli masyarakat dan sektor industri yang bergantung pada belanja pemerintah.
Menurut Wahyu Nuryanto, Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute, pemerintah perlu menghitung ulang proyeksi penerimaan pajak pascakebijakan ini.
APBN berfungsi sebagai stimulus ekonomi melalui belanja negara, sehingga efisiensi berpotensi mengurangi aktivitas ekonomi dan menekan pendapatan pajak.
Pertama, pengurangan anggaran belanja pemerintah berimbas pada penurunan daya beli masyarakat, terutama setelah pemutusan hubungan kerja (PHK) tenaga honorer.
Hal ini dapat menurunkan konsumsi, yang berujung pada penurunan penerimaan PPN.
Kedua, sektor industri seperti perhotelan dan penyelenggara acara akan terdampak akibat pemotongan anggaran rapat dan seminar, sehingga PPh Badan dari sektor ini berpotensi menyusut.
Wahyu menekankan pentingnya langkah antisipasi, seperti optimalisasi pemungutan pajak dan evaluasi kebijakan seperti Coretax yang turut memberi tekanan pada otoritas pajak.
Pemerintah menargetkan penerimaan pajak Rp2.189,3 triliun pada 2025, dengan kontribusi terbesar dari PPh (Rp1.209,3 triliun) dan PPN & PPnBM (Rp945,1 triliun).
Untuk menjaga target ini, pemerintah disarankan memperkuat insentif bagi sektor produktif, meningkatkan kepatuhan pajak, serta memitigasi risiko defisit melalui efisiensi yang tidak menghambat pertumbuhan ekonomi.
Tanpa strategi komprehensif, kebijakan penghematan justru berisiko menggerus stabilitas fiskal jangka panjang.