Apalagi, pemilih Sulawesi Tengah saat ini tidak lagi monolitik. Basis pemilih muda dan kelas menengah terdidik makin meluas, terutama di wilayah pesisir, tambang, dan daerah-daerah berkembang. Mereka lebih sensitif terhadap gagasan dan isu dibanding simbol asal-usul. Hal ini bisa dimanfaatkan sebagai dasar segmentasi dan targeting yang lebih presisi dalam strategi kampanye modern.
Namun, kekuatan simbolik dari asal wilayah tetap tidak bisa diabaikan. Maka kandidat dari luar Lembah Palu perlu mendesain strategi komunikasi politik dua lapis: narasi untuk membongkar hegemoni wilayah secara halus kepada pemilih akar rumput, sekaligus pendekatan koalisi elite untuk meretas jalur logistik dan legitimasi partai.
Peta politik Sulawesi Tengah hari ini sedang mengalami transisi antara politik berbasis patronase wilayah menuju politik berbasis persepsi dan citra strategis. Siapa yang mampu menggabungkan pendekatan geo-sosial dan digital, dialah yang berpeluang menang. Hegemoni Lembah bisa dibongkar, bukan dengan frontalitas, tetapi dengan elegansi strategi dan resonansi gagasan.
Politik berbasis wilayah yang eksklusif jelas tidak relevan dengan semangat demokrasi partisipatif hari ini. Namun, strategi politik yang paham wilayah dan mampu mengartikulasikan aspirasi tiap blok secara cerdas, justru akan memperkuat elektabilitas kandidat. Inilah tantangan sesungguhnya bagi siapa pun yang ingin memimpin Sulteng masa depan: mematahkan warisan sentralisasi tanpa memecah persatuan.
Dalam konteks ini, visi kepemimpinan yang diusung oleh Gubernur Sulawesi Tengah saat ini melalui slogan “SULTENG NAMBASO”—yang berarti maju, bersatu, dan berdaya saing— sejatinya mencerminkan upaya konkret untuk meretas sekat-sekat hegemonik dan membangun tata politik yang setara antarwilayah. “Sulteng Nambaso” tidak hanya slogan pembangunan fisik, tetapi juga manifestasi politik rekonsiliatif yang berupaya menjadikan Timur dan Barat sebagai dua kutub yang saling melengkapi, bukan saling bersaing. Oleh karena itu, pendekatan politik modern ke depan harus menjadi kelanjutan dari semangat ini: menyatukan Sulawesi Tengah dengan visi integratif, representatif, dan berbasis keadilan spasial.