READNEWS.ID, EDITORIAL – Pasca bencana tsunami dan likuifaksi pada 2018 silam, masih meninggalkan bekas luka yang menggores bagi penyintas Palu, Sigi dan Donggala (pasigala).
Bukannya tanpa alasan, banyak jiwa penyintas yang nasibnya terkatung-katung menanti kejelasan soal hunian dan keberlangsungan hidup.
Nasib para penyintas yang mendiami hunian sementara (huntap) semakin tidak menentu, bahkan banyak diantaranya harus terusir akibat lahan yang ditempati bangunan huntap sewanya sudah berakhir.
Memang… Program rehab rekon dari pemerintah pusat sudah berjalan. Pemerintah merogoh kocek triliunan rupiah untuk mengatasi permasalahan rehab rekon pasca bencana alam 28 september 2018 silam di Pasigala.
Sayangnya… Progres pekerjaan rehab rekon itu terkesan molor… Entah kapan selesainya.
Belum lagi tuntas penyelesaian nasib para penyintas pasigala, kini beredar kabar tak sedap terkait adanya aliran dana Corporate Social Responsibility atau CSR senilai miliaran rupiah ke intitusi Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tengah (Sulteng).
Dana yang bersumber dari Bank Sulteng milik daerah itu, dialokasikan untuk belanja fasilitas kantor Kejati Sulteng. Mulai dari meja, kursi, Videotron, komputer, televisi, renovasi ruangan hingga belanja gorden, menggunakan dana CSR.. Luar biasa!
Bukannya dana tersebut digunakan untuk membantu para penyintas. Malah diperuntukan bagi institusi pengak hukum.
Kabar ini tentu menyakitkan bagi masyarakat Sulteng. Khususnya penyintas pasigala yang nasibnya belum jelas dan tak menentu.
Terdapat ribuan penyintas yang saat ini nasibnya terkatung-katung tanpa kejelasan. Selain melarang penyintas membangun dizona merah, pemerintah juga belum punya solusi terkait penyediaan lahan untuk hunian tetap mereka. Termasuk penyintasyang tak memiliki alas hak.
Rasanya sungguh tidak adil, jika bank milik rakyat Sulteng tersebut malah meng iyakan permintaan dana csr yang diajukan Kejati Sulteng.
Coba saja jikalau diberikan kepada penyintas maupun masyarakat yang membutuhkan, sudah barang tentu dana tersebut dapat mengurangi sedikit penderitaan dan kebutuhan mereka.
Lihat saja, masih ada penyintas yang tak kebagian hunian tetap, dana itu amat sangat membantu jika dipakai untuk membebaskan lahan agar penyintas yang tercecer ini dapat membangun hunian tetap bagi keluarganya.
Sungguh ironis sekali, kita semua menyaksikan anak-anak penyintas, para lansia, janda dan anak yatim maupun piatu korban tsunami dan likuifaksi, harus hidup menumpang, atau sekedar membangun gubuk sederhana dilahan warga demi terhindar dari panas dan kehujanan… Sungguh memilukan…
Terketuk kah nurani para pejabat Bank Sulteng dan Kejati Sulteng melihat dan mendengar jeritan hati para penyintas ini? Heh! Semoga saja…
Bukan saja soal hunian, para penyintas ini semestinya dicarikan solusi agar dapat melanjutkan hidupnya.
Andai saja dana CSR itu diberikan dalam bentuk paket modal usaha, pembinaan dan pelatihan keterampilan usaha. Mungkin itu lebih kongkrit serta bermanfaat bagi Masyarakat kecil.
Atau disalurkan dalam bentuk bantuan bagi pengembangan UMKM, Peningkatan sumber daya masyarakat. Hal ini dipercaya tak hanya menjadi salah satu jalan keluar dari kesulitan ekonomi tapi juga dapat menggerakkan roda ekonomi rakyat.

Laporan hasil audit bank Sulteng pada tahun 2022 tercatat, dari 1,4 milyar dana CSR hak milik bank Sulteng. Sebesar 1.1 milyar diberikan kepada Kejati Sulteng. Sisanya yang tinggal sedikit dialokasikan untuk kegiatan masyarakat dan bantuan sembako bagi kaum duafa.
Sementara itu, dari sejumlah aturan hukum, baik Undang-undang hingga peraturan menteri tidak dianjurkan penggunaan dana CSR untuk kebutuhan institusi negara terlebih lagi untuk keperluan isi kantor institusi penegak hukum.
Dana CSR seyogyanya digunakan untuk memenuhi tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Sekalipun ada yang beranggapan jika pemberian CSR kepada institusi penegak hukum itu tidak melanggar. Namun setidaknya patut dipertimbangkan dampak sosiologis nya.
Keputusan yang terkesan salah kamar ini, bukan hanya menciderai perasaan masyarakat penyintas, tapi juga menimbulkan kekhawatiran.
Pemberian dana CSR ke institusi penegak hukum dikhawatirkan dapat mempengaruhi independensi institusi tersebut dalam penanganan perkara.



Kalau begini keadaannya, jangan salahkan Masyarakat jika menaruh curiga, atau bahkan tidak lagi percaya terhadap penegakan hukum di lingkungan Kejati Sulteng.
Ya tuhan… Salah kamar dana CSR untuk institusi penegak hukum merupakan kejadian serius yang banyak disesali dan di kritik sejumlah kalangan.
Maraknya pemberitaan terkait permasalahan ini dimedia masa. Hingga gerakan aksi demonstrasi sejumlah LSM dan Ormas silih berganti menyuarakan aliran dana CSR ke institusi Kejati Sulteng.
Hmmmh… Ironisnya, intitusi Kejati Sulteng dan bank Sulteng seakan tak bergeming. Heh! Ada apa gerangan?!
Gubernur Sulteng harus meminta penjelasan dari pejabat bank Sulteng terkait aliran dana CSR tersebut. Sekaligus mengkaji dengan seksama urgensi apa hingga dana CSR ke Kejati Sulteng diloloskan.
Mungkinkah kedua lembaga itu meyakini jika aliran dana CSR tersebut wajar?
Ataukah mereka beranggapan, jika penyaluran dana CSR itu merupakan hak corporate yang dapat diberikan kepada siapa saja. Termasuk ke Kejati Sulteng? Ya ya ya… Makin menarik untuk di perdebatkan.
Kali ini Gubernur Sulteng perlu turun tangan, sebab penyintas pasigala adalah rakyatnya juga. Sudah sepantasnya pemimpin daerah Sulteng itu ikut bicara.
Sebagai pemimpin Gubernur Sulteng tentu paham apa yang tengah dirasakan rakyatnya. Dipundaknya, Bergantung harapan masyarakat Sulteng, khususnya penyintas pasigala.
Sikap tegas Gubernur Sulteng tengah dinanti para penyintas. Mengingat dampak dari pemberian dana csr ke Kejati Sulteng menimbulkan kekhawatiran dan keresahan masyarakatnya.
Kita semua berharap penyintas pasigala mendapatkan keadilan…
Nasib mereka bergantung pada kepedulian semua pihak. Termasuk penulis maupun pembaca.
Jikalau boleh memohon, jangan lagi penderitaan mereka berlanjut berlarut-larut. Karena akan menambah kepiluan.
Terlebih lagi mendapati kabar yang menyayat perasaan serta menciderai rasa keadilan…
Salah kamar… Salah kamar… Kok bisa!!. (mrh)