Pakar keamanan siber ini memperingatkan, jika peretas benar-benar membobol sebagai admin, hal ini “bisa sangat berbahaya pada pesta demokrasi pemilu”. Musababnya, peran admin dapat dipergunakan untuk mengubah hasil rekapitulasi penghitungan suara.

“Tentunya akan mencederai pesta demokrasi bahkan bisa menimbulkan kericuhan pada skala nasional,” kata Pratama.

Peneliti dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Annisa N Hayati menilai kebocoran data ini bisa menimbulkan penyalahgunaan data seperti disinformasi.

“Semakin banyak data yang dikumpulkan tentang pemilih, maka semakin meyakinkan panggilan palsu, pesan teks, atau email tentang individu dan koneksi sosial mereka,” tutur Annisa.

Dampak dari dugaan kebocoran data dari situs KPU ini, lanjutnya, juga bisa menurunkan tingkat kepercayaan publik pada penyelenggara pemilu, “sehingga dapat berdampak ke legitimasi pemilu yang ikut berkurang”.

KPU sendiri mengakui data daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2024 tidak hanya berada di data center KPU.

“Banyak pihak yang memiliki data DPT tersebut, karena memang UU Pemilu mengamanatkan kepada KPU untuk menyampaikan DPT softcopy kepada partai politik peserta Pemilu 2024 dan juga Bawaslu,” kata Ketua KPU, Hasyim Asy’ari.

Hasyim Asy’ari juga mengatakan dibutuhkan penelusuran lebih lanjut untuk memastikan dugaan peretasan tersebut dan apakah peretasan itu dilakukan terhadap data milik KPU.

“Tim KPU dan Gugus Tugas (BSSN, Cybercrime Polri, BIN dan Kemenkominfo) sedang bekerja menelusuri kebenaran dugaan,” tambah Hasyim.

Dalam keterangan resminya, KPU telah melakukan pemeriksaan terhadap sistem informasi yang disampaikan oleh peretas, yaitu Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih). KPU telah menonaktifkan akun-akun pengguna Sidalih sebagai upaya penanganan peretasan tersebut lebih lanjut. (AHK)